Asal Usul Islam (3)
Fakta bahwa Islam lebih dari sekedar sebuah agama
formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi sosial dan tantangan
bagi kepentingan-kepentingan pribadi, dibuktikan oleh penekanannya pada shalat
dan zakat. Dalam kebanyakan ayat Al-Qur'an, shalat tidak pernah disebut tanpa
diiringi dengan zakat. Zakat, seperti digariskan Al-Qur'an, dimaksudkan untuk
distribusi kekayaan kepada fakir dan miskin, untuk membebaskan budak-budak,
membayar hutang mereka yang berhutang dan memberikan kemudahan bagi ibnu as-sabil (yang secara harfiah
diartikan sebagai infrastruktur bagi orang-orang yang berpergian). Di Arab
ketika itu, langkah-langkah seperti itu dirasakan sebagai hal baru yang sangat
revolusioner, karena itu masyarakat bisnis Mekkah, yang merasa kepentingannya
terancam melakukan perlawanan terhadap Nabi. Signifikansi transformatif dari
ajaran Islam, lebih lanjut dibuktikan oleh kenyataan bahwa ajaran-ajaran itu
lahir di dalam polarisasi kekuatan-kekuatan sosial. Budak-budak dan orang-orang
yang tidak pandai berdagang di satu pihak, dan pemuda-pemuda radikal di pihak
lain, bersatu mendukung Nabi. Orang-orang kafir yang menentang risalah Nabi
merasakan hal itu sebagai pukulan keras bagi kepentingan mereka. Masalah ini
diisyaratkan dalam Al-Qur'an ketika ia mengatakan: "Dan kami tidak mengutus pada suatu negeri seorang pemberi
peringatan, melainkan orang-orang yang hidup mewah dinegeri itu berkata:
"Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya."13 Tapi Al-Qur'an memperingatkan
orang-orang kaya ini: "Dan
sekali-kali bukanlah harta dan (bukan) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu
kepadaKu sedikitpun; tetapi orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh."14
Dengan demikian sangat jelas bahwa orang-orang
kafir dalam arti yang sesungguhnya adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan
dan menghidupkan terus menerus ketidakadilan serta merintangi upaya-upaya
menegakkan keadilan dalam masyarakat. Keadilan, sebagaimana nanti akan kita
lihat, merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran Islam di bidang ekonomi.
Karena memperluas jaringan perdagangan di tingkat
internasional, Mekkah siap berada di puncak revolusi sosial. Namun, hingga
munculnya Islam, tidak ada pemimpin terkemuka yang mampu mengartikulasikan
teori yang sistematis dan masuk akal untuk memajukan masyarakat Mekkah, baik
pada dataran spiritual maupun pada dataran fisik. Muhammad, adalah orang
pertama yang memikirkan proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat Mekkah
secara serius. Tetapi, visi dan pemikiran Nabi dalam mengembangkan
ajaran-ajarannya itu tidak semata-mata ditentukan oleh situasi Mekkah saja.
Ajaran-ajarannya, yang diekspresikan dalam idiom-idiom religio-spiritual,
sangatlah universal dalam pelaksanaannya dan menimbulkan restrukturisasi
masyarakat secara radikal. Kita akan membahas masalah ini secara detail, agar kita
mampu memahami kekacauan dunia Islam saat ini.
Sebagaimana yang dikemukakan dengan tepat oleh
Muhammad Ahmad Khalfallah, pada dasarnya Nabi Muhammad adalah seorang
revolusioner dalam ucapan maupun dalam perbuatannya. Ia bekerja demi perubahan
radikal pada struktur masyarakat sosial pada masanya.15 Ia mengabaikan kemapanan di
kotanya, yang telah dikuasai oleh orang-orang kaya dan penguasa Mekkah. Rumusan
yang didakwahkan, La ilaha illa Allah,
dengan sendirinya sangat revolusioner dalam implikasi sosial-ekonominya.
Kekuatan revolusioner manapun, pertama-tama haruslah merombak status-quo, sebelum alternatif lainnya
bisa berfungsi. Dengan mendakwahkan La
ilaha illa Allah, Nabi Muhammad tidak hanya menolak berhala-hala yang
dipasang di Ka'bah, tetapi juga menolak untuk mengakui otoritas kelompok
kepentingan yang berkuasa dan struktur sosial yang ada pada masanya.
Orang-orang kafir Mekkah lebih merasa terusik oleh
implikasi-implikasi revolusioner teolog Muhammad ketimbang dakwahnya yang menantang
penyembahan berhala. Semua tokoh penentangnya berasal dari kelas pedagang kaya
yang merasa terancam otoritas dan dominasi mereka. Ancaman itu dirasakan begitu
serius sehingga mereka memutuskan untuk menyiksa para pengikut Muhammad kapan
dan di manapun. Karena alasan tersebutlah, Nabi memerintahkan para pengikutnya
untuk hijrah ke Medinah, tempat di mana dia memperoleh dukungan dan jaminan
tertentu. Bahkan sekelompok pengikutnya ada yang sudah lebih dulu hijrah ke
Ethiopia.
Nabi Muhammad, dengan inspirasi wahyu ilahiyah
menurut formulasi teologis, mengajukan sebuah alternatif tatanan sosial yang
adil dan tidak eksploitatif serta menentang penumpukkan kekayaan di tangan
segelintir orang (oligarki). Memang rumusan Al-Qur'an lebih bersifat teologis, tidak
sosiologis, seperti pada umumnya sistem berpikir yang dirumuskan pada masa
kenabian, tetapi semua orang akan melihat betapa rumusan-rumusan itu mempunyai
implikasi-implikasi sosial yang sangat besar. Distribusi kekayaan yang berlebih
kepada kelompok masyarakat yang lemah diistilahkan dengan infaq fi sabilillah. Al-Qur'an mengutuk orang-orang yang menimbun
emas dan perak, tidak menafkahkannya di jalan Allah serta meminta Nabi untuk
memperingatkan mereka, bahwa hukuman yang berat menunggu mereka.16 Dengan struktur
ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ketika itu, maka satu-satunya jalan untuk
memberikan perlindungan bagi orang-orang yang lemah adalah memberi tanggung
jawab kepada orang-orang kaya untuk membagikan kelebihan kekayaan di jalan
Allah.[1]
bersambung
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D