Hello

Welcome To My Blog

MISBAHUDDIN HASAN
Semoga Tulisan di Blog ini Bermanfaat Bagi Anda

Recent

Memahami Diri dalam Wacana Psikologi (7)

Lacan mengatakan bahwa pada beberapa titik di periode ini, sang bayi akan melihat dirinya sendiri di cermin. Ia akan melihat pada bayangannya, dan kemudian melihat kembali kepada oknum sebenarnya—ibunya, atau beberapa orang lainnya—kemudian melihat kembali pada citraan cermin. Sang anak bergerak “dari ketidakcukupan ke antisipasi” dalam tindakan ini; cermin, dan bergerak bolak-balik dari citraan cermin ke orang lain, memberinya perasaan bahwa ia, juga, merupakan wujud yang terintegrasi, seorang oknum utuh. Sang anak, masih tidak bisa menjadi utuh, dan karena itu terpisah dari yang lain (meskipun ia memiliki gagasan tentang keterpisahan ini), dan di tahapan cermin mulai mengantisipasi keutuhan. Bayi bergerak dari “tubuh yang terfragmentasi” ke “pandangan ortopedik dari totalitasnya”, ke pandangan akan dirinya sendiri sebagai utuh dan terintegrasi, yang merupakan “ortopedik” karena ia bertindak sebagai penopang, suatu instrumen yang memperbaiki, suatu bantuan untuk membantu sang anak yang mencapai status keutuhan.

Apa yang diantisipasi sang anak adalah pemahaman diri sebagai keutuhan yang sepenuhnya terpisah; sang anak melihat ia tampak seperti yang lainnya juga. Akhirnya, entitas ini yang dilihat sang anak di cermin, wujud utuh ini, akan menjadi “diri”, entitas yang ditandai oleh kata “Aku”. Bagaimanapun, apa yang sebenarnya terjadi adalah suatu identifikasi yang merupakan kesalah-pengenalan. Sang anak melihat sebuah citra di cermin; ia berpikir bahwa citra tersebut adalah “Aku”. Tetapi itu bukanlah sang anak; itu hanyalah sebuah citra. Tetapi oknum lain (biasanya ibu) ada di situ untuk memperkuat kesalah-pengenalan tersebut. Sang bayi melihat ke cermin, dan melihat kembali pada sang ibu, dan sang ibu berkata, “Ya, itu adalah engkau!” Sang ibu menjamin “realitas” keterhubungan antara sang anak dan citraannya, dan ide tentang tubuh utuh yang terintegrasi dari sang bayi yang dilihat dan diidentifikasi dengan citraannya.

Sang anak mengambil citra dalam cermin tersebut sebagai penyajian terakhir dari keseluruhan wujudnya, “diri”-nya. Proses ini, yaitu kesalah-pengenalan diri seseorang pada citra di cermin, menciptakan ego, sesuatu yang mengatakan “Aku”. Dalam pandangan Lacan, kesalah-pengenalan ini menciptakan “baju baja” dari sang subjek, suatu ilusi atau mispersepsi dari keutuhan, integrasi, dan totalitas yang mengelilingi dan melindungi tubuh yang terfragmentasi. Bagi Lacan, ego atau diri atau “I”dentity (Aku dan identitas), pada beberapa tingkatan selalu merupakan fantasi, suatu identifikasi dengan citra eksternal, dan bukan suatu perasaan internal akan identitas utuh yang terpisah.

Inilah mengapa Lacan menyebut fase permintaan, dan tahapan cermin, sebagai wilayah Imajiner. Ide tentang diri diciptakan melalui suatu identifikasi Imajiner dengan citra di cermin. Wilayah imajiner adalah tempat relasi teralienasi dari diri ke citraannya sendiri diciptakan dan dipertahankan. Imajiner adalah wilayah citraan-citraan, baik sadar maupun tak sadar. Ini merupakan pralinguistik, atau praoedipal, tetapi sangat berlandaskan pada persepsi visual, atau yang disebut Lacan sebagai pencitraan spekular. bersambung

Share this:

PENULIS

Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas

BERGABUNGDENGAN PERCAKAPAN

0 komentar:

Post a Comment

Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D