Memahami Diri dalam Wacana Psikologi (7)
Lacan
mengatakan bahwa pada beberapa titik di periode ini, sang bayi akan melihat
dirinya sendiri di cermin. Ia akan melihat pada bayangannya, dan kemudian
melihat kembali kepada oknum sebenarnya—ibunya, atau beberapa orang
lainnya—kemudian melihat kembali pada citraan cermin. Sang anak bergerak “dari
ketidakcukupan ke antisipasi” dalam tindakan ini; cermin, dan bergerak
bolak-balik dari citraan cermin ke orang lain, memberinya perasaan bahwa ia,
juga, merupakan wujud yang terintegrasi, seorang oknum utuh. Sang anak, masih
tidak bisa menjadi utuh, dan karena itu terpisah dari yang lain (meskipun ia
memiliki gagasan tentang keterpisahan ini), dan di tahapan cermin mulai
mengantisipasi keutuhan. Bayi bergerak dari “tubuh yang terfragmentasi” ke
“pandangan ortopedik dari totalitasnya”, ke pandangan akan dirinya sendiri
sebagai utuh dan terintegrasi, yang merupakan “ortopedik” karena ia bertindak
sebagai penopang, suatu instrumen yang memperbaiki, suatu bantuan untuk
membantu sang anak yang mencapai status keutuhan.
Apa
yang diantisipasi sang anak adalah pemahaman diri sebagai keutuhan yang
sepenuhnya terpisah; sang anak melihat ia tampak seperti yang lainnya juga.
Akhirnya, entitas ini yang dilihat sang anak di cermin, wujud utuh ini, akan
menjadi “diri”, entitas yang ditandai oleh kata “Aku”. Bagaimanapun, apa yang
sebenarnya terjadi adalah suatu identifikasi yang merupakan kesalah-pengenalan.
Sang anak melihat sebuah citra di cermin; ia berpikir bahwa citra tersebut
adalah “Aku”. Tetapi itu bukanlah sang anak; itu hanyalah sebuah citra. Tetapi
oknum lain (biasanya ibu) ada di situ untuk memperkuat kesalah-pengenalan
tersebut. Sang bayi melihat ke cermin, dan melihat kembali pada sang ibu, dan
sang ibu berkata, “Ya, itu adalah engkau!” Sang ibu menjamin “realitas”
keterhubungan antara sang anak dan citraannya, dan ide tentang tubuh utuh yang
terintegrasi dari sang bayi yang dilihat dan diidentifikasi dengan citraannya.
Sang
anak mengambil citra dalam cermin tersebut sebagai penyajian terakhir dari
keseluruhan wujudnya, “diri”-nya. Proses ini, yaitu kesalah-pengenalan diri
seseorang pada citra di cermin, menciptakan ego, sesuatu yang mengatakan “Aku”.
Dalam pandangan Lacan, kesalah-pengenalan ini menciptakan “baju baja” dari sang
subjek, suatu ilusi atau mispersepsi dari keutuhan, integrasi, dan totalitas
yang mengelilingi dan melindungi tubuh yang terfragmentasi. Bagi Lacan, ego
atau diri atau “I”dentity (Aku dan identitas), pada beberapa tingkatan selalu
merupakan fantasi, suatu identifikasi dengan citra eksternal, dan bukan suatu
perasaan internal akan identitas utuh yang terpisah.
Inilah
mengapa Lacan menyebut fase permintaan, dan tahapan cermin, sebagai wilayah
Imajiner. Ide tentang diri diciptakan melalui suatu identifikasi Imajiner
dengan citra di cermin. Wilayah imajiner adalah tempat relasi teralienasi dari
diri ke citraannya sendiri diciptakan dan dipertahankan. Imajiner adalah
wilayah citraan-citraan, baik sadar maupun tak sadar. Ini merupakan
pralinguistik, atau praoedipal, tetapi sangat berlandaskan pada persepsi
visual, atau yang disebut Lacan sebagai pencitraan spekular. bersambung
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D