Asal Usul Islam (1)
Suatu agama, baik yang mengaku sebagai agama wahyu maupun
tidak, tidak bisa lepas dari pengaruh situasi asal - usulnya yang kompleks.
Adanya campur tangan Tuhan sekalipun, tidak bisa terlepas dari
pengaruh-pengaruh ini. Teologi Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qur'an,
tidak mengenal konsep campur tangan Tuhan yang semena-mena, bahkan dalam
teologi Asy'ariah sekalipun. Pernyataan Al-Qur'an dalam masalah ini sangat
jelas. "Kamu tidak akan pernah
menemukan perubahan apa pun pada sunnah Allah".1 Bahkan pahala dan siksa Tuhan,
berbeda dengan teologi Calvinis, bukan atas dasar tindakan Tuhan yang
semena-mena. Al-Qur'an menyatakan, "Tidak
ada sesuatu pun bagi manusia, kecuali apa yang diupayakan".2 Tentu saja,
petunjuk Allah (taufiq min Allah)
tidak ditolak, tetapi petunjuk Allah itu, sepanjang perhatian teologi
Al-Qur'an, tidaklah bersifat semena-mena. Taufiq (petunjuk Allah) dalam teologi
Islam sesungguhnya merupakan potensi untuk bertindak yang diciptakan Tuhan,
yang masih mempunyai kemungkinan dapat atau tidak dapat diaktualisasikan,
karena manusia adalah "agen" yang bebas. Proses historis juga sangat diperlukan dalam
Islam. Sejarah bukanlah mitos, bukan pula suatu proyek arbitrer yang sama
sekali tidak mempunyai kausalitas sosial. Al-Qur'an memang mempunyai pendekatan
teleologis sebagaimana kisah
nabi-nabi Israel yang diceritakan dengan penggambaran yang jelas, tetapi
kausalitas tidaklah diabaikan begitu saja. Kemurkaan Allah kepada suatu bangsa
atau seseorang diberlakukan ketika mereka mengabaikan proses kausalitas sosial
dan berbuat menyimpang dari sunnah-Nya,
baik secara fisik (hukum alam) maupun moral (hukum-hukum etik yang mengacu pada
hudud Allah dalam Al-Qur'an).
Al-Qur'an menyatakan: "Telah banyak
negeri yang Kuhancurkan ketika warganya melakukan kezaliman. Maka reruntuhannya
menimpa atap-atapnya, dan bagaimana telaga dan gedung-gedung (mereka
tinggalkan)."3 Dan lagi, "Dan banyak negeri yang aku biarkan,
sementara warganya berbuat zalim, lalu setelah sampak waktunya, Aku kenakan
siksa bagi mereka..."4
Dengan demikian kita melihat bahwa teologi Islam,
sebagaimana dinyatakan Al-Qur'an, sama sekali tidak mengabaikan determinisme sejarah,5 tetapi sebaliknya, secara serius
memperhatikan peristiwa sejarah serta pengaruh-pengaruhnya yang menentukan.
Islam juga mencoba menanmkan kesadaran sejarah pada umatnya. Al-Qur'an berkata:
"Apakah mereka tidak pernah
melakukan penjelajahan di muka bumi? Mereka mempunyai hati yang dengannya
mereka dapat memahami, dan mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat
mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
adalah mata-hati yang ada di dalam dada."6 Apa yang dinyatakan
secara jelas adalah bahwa kesadaran yang tepat diperlukan untuk memahami
sesuatu dan mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa sejarah, dan bukan
semata-mata persepsi inderawi yang dimiliki setiap orang.
Sebelum kita membahas lebih lanjut asal-usul Islam,
kiranya kita perlu memahami istilah "determinisme sejarah" dengan
tepat. Hal ini tidak lain untuk menghindari kesalahpahaman. Istilah ini tidak
menafikan lingkup yang sah bagi inisiatif manusia yang bagaimanapun sesuai
dengan persepsi manusia tentang tujuan ilahiyah.7
Menjelang dewasa, Nabi menemukan situasi yang sangat kacau di Mekkah,
tempat Islam dilahirkan. Seorang yang berperilaku jujur, yang memperoleh gelar Al-Amin, tentulah sangat gelisah melihat
situasi yang ada di hadapannya, dan mencari jalan keluarnya. Seorang yang
sangat rendah hati tapi berhati dan berotak luar biasa cerdas, mulai mencari
jalan keluar yang kemudian menuntunnya untuk menyendiri di gua Hira, di sebuah
pegunungan berbatu di luar kota Mekkah. Muhammad, Nabi Islam itu, setelah
melewati hari-hari meditasi dalam kesendiriannya di gua, akhirnya memperoleh
cahaya wahyu Tuhan. Wahyu, secara essensial, berwatak religius, namun tetap
menaruh perhatian pada situasi yang ada serta memiliki kesadaran sejarah.
Ayat-ayat pertama Al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi, sebagaimana nanti akan
kita lihat, mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap situasi yang
terjadi di Mekkah.
Lalu, bagaimana situasi Mekkah ketika itu? Mekkah sejak
akhir abad kelima telah berkembang menjadi pusat perdagangan yang penting.
"Mekkah menjadi makmur, karena lokasinya berada pada rute strategis dan
menguntungkan dari Arabia Utara ke Arabia Selatan; Mekkah menjadi jalur utama
perdagangan dan menjadi pusat pertemuan para pedagang dari kawasan Laut Tengah,
Teluk Parsi, Laut Merah melalui Jeddah, bahkan dari Afrika.8 Dengan demikian Mekkah berkembang
menjadi pusat keuangan dari kepentingan internasional yang besar. Karena itu,
bersamaan dengan berkembangnya perdagangan dan peredaran uang, suatu pandangan
hidup dan cara pandang baru pun muncul, meskipun belum dinyatakan secara sadar
dan tepat. Kerja komersial tentu mempunyai logikanya sendiri dan mengarahkan
masyarakat pada suatu cara hidup tertentu. Dinamika sosial dalam masyarakat
Mekkah yang seperti itu mengarahkan pada suatu kehidupan yang tidak selaras
dengan kehidupan masyarakat yang beralaskan norma-norma kesukuan.[1] bersambung
[1] diambil
dari computer tanpa diketahui sumber dan penulisnya
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D