Hello

Welcome To My Blog

MISBAHUDDIN HASAN
Semoga Tulisan di Blog ini Bermanfaat Bagi Anda

Recent

Asal Usul Islam (1)

Suatu agama, baik yang mengaku sebagai agama wahyu maupun tidak, tidak bisa lepas dari pengaruh situasi asal - usulnya yang kompleks. Adanya campur tangan Tuhan sekalipun, tidak bisa terlepas dari pengaruh-pengaruh ini. Teologi Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qur'an, tidak mengenal konsep campur tangan Tuhan yang semena-mena, bahkan dalam teologi Asy'ariah sekalipun. Pernyataan Al-Qur'an dalam masalah ini sangat jelas. "Kamu tidak akan pernah menemukan perubahan apa pun pada sunnah Allah".1 Bahkan pahala dan siksa Tuhan, berbeda dengan teologi Calvinis, bukan atas dasar tindakan Tuhan yang semena-mena. Al-Qur'an menyatakan, "Tidak ada sesuatu pun bagi manusia, kecuali apa yang diupayakan".2 Tentu saja, petunjuk Allah (taufiq min Allah) tidak ditolak, tetapi petunjuk Allah itu, sepanjang perhatian teologi Al-Qur'an, tidaklah bersifat semena-mena. Taufiq (petunjuk Allah) dalam teologi Islam sesungguhnya merupakan potensi untuk bertindak yang diciptakan Tuhan, yang masih mempunyai kemungkinan dapat atau tidak dapat diaktualisasikan, karena manusia adalah "agen" yang bebas.  Proses historis juga sangat diperlukan dalam Islam. Sejarah bukanlah mitos, bukan pula suatu proyek arbitrer yang sama sekali tidak mempunyai kausalitas sosial. Al-Qur'an memang mempunyai pendekatan teleologis sebagaimana kisah nabi-nabi Israel yang diceritakan dengan penggambaran yang jelas, tetapi kausalitas tidaklah diabaikan begitu saja. Kemurkaan Allah kepada suatu bangsa atau seseorang diberlakukan ketika mereka mengabaikan proses kausalitas sosial dan berbuat menyimpang dari sunnah-Nya, baik secara fisik (hukum alam) maupun moral (hukum-hukum etik yang mengacu pada hudud Allah dalam Al-Qur'an). Al-Qur'an menyatakan: "Telah banyak negeri yang Kuhancurkan ketika warganya melakukan kezaliman. Maka reruntuhannya menimpa atap-atapnya, dan bagaimana telaga dan gedung-gedung (mereka tinggalkan)."3 Dan lagi, "Dan banyak negeri yang aku biarkan, sementara warganya berbuat zalim, lalu setelah sampak waktunya, Aku kenakan siksa bagi mereka..."4
Dengan demikian kita melihat bahwa teologi Islam, sebagaimana dinyatakan Al-Qur'an, sama sekali tidak mengabaikan determinisme sejarah,5 tetapi sebaliknya, secara serius memperhatikan peristiwa sejarah serta pengaruh-pengaruhnya yang menentukan. Islam juga mencoba menanmkan kesadaran sejarah pada umatnya. Al-Qur'an berkata: "Apakah mereka tidak pernah melakukan penjelajahan di muka bumi? Mereka mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami, dan mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah mata-hati yang ada di dalam dada."6 Apa yang dinyatakan secara jelas adalah bahwa kesadaran yang tepat diperlukan untuk memahami sesuatu dan mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa sejarah, dan bukan semata-mata persepsi inderawi yang dimiliki setiap orang.
Sebelum kita membahas lebih lanjut asal-usul Islam, kiranya kita perlu memahami istilah "determinisme sejarah" dengan tepat. Hal ini tidak lain untuk menghindari kesalahpahaman. Istilah ini tidak menafikan lingkup yang sah bagi inisiatif manusia yang bagaimanapun sesuai dengan persepsi manusia tentang tujuan ilahiyah.7
Menjelang dewasa, Nabi menemukan situasi yang sangat kacau di Mekkah, tempat Islam dilahirkan. Seorang yang berperilaku jujur, yang memperoleh gelar Al-Amin, tentulah sangat gelisah melihat situasi yang ada di hadapannya, dan mencari jalan keluarnya. Seorang yang sangat rendah hati tapi berhati dan berotak luar biasa cerdas, mulai mencari jalan keluar yang kemudian menuntunnya untuk menyendiri di gua Hira, di sebuah pegunungan berbatu di luar kota Mekkah. Muhammad, Nabi Islam itu, setelah melewati hari-hari meditasi dalam kesendiriannya di gua, akhirnya memperoleh cahaya wahyu Tuhan. Wahyu, secara essensial, berwatak religius, namun tetap menaruh perhatian pada situasi yang ada serta memiliki kesadaran sejarah. Ayat-ayat pertama Al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi, sebagaimana nanti akan kita lihat, mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap situasi yang terjadi di Mekkah.
Lalu, bagaimana situasi Mekkah ketika itu? Mekkah sejak akhir abad kelima telah berkembang menjadi pusat perdagangan yang penting. "Mekkah menjadi makmur, karena lokasinya berada pada rute strategis dan menguntungkan dari Arabia Utara ke Arabia Selatan; Mekkah menjadi jalur utama perdagangan dan menjadi pusat pertemuan para pedagang dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, Laut Merah melalui Jeddah, bahkan dari Afrika.8 Dengan demikian Mekkah berkembang menjadi pusat keuangan dari kepentingan internasional yang besar. Karena itu, bersamaan dengan berkembangnya perdagangan dan peredaran uang, suatu pandangan hidup dan cara pandang baru pun muncul, meskipun belum dinyatakan secara sadar dan tepat. Kerja komersial tentu mempunyai logikanya sendiri dan mengarahkan masyarakat pada suatu cara hidup tertentu. Dinamika sosial dalam masyarakat Mekkah yang seperti itu mengarahkan pada suatu kehidupan yang tidak selaras dengan kehidupan masyarakat yang beralaskan norma-norma kesukuan.[1] bersambung

[1] diambil dari computer tanpa diketahui sumber dan penulisnya

Share this:

PENULIS

Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas

BERGABUNGDENGAN PERCAKAPAN

0 komentar:

Post a Comment

Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D