Memahami Diri dalam Wacana Psikologi (8)
Citra
cermin atau oknum utuh yang salah dipersepsi oleh sang bayi sebagai dirinya,
dikenal dalam terminologi psikoanalisis sebagai “ego ideal”, suatu diri utuh
sempurna yang sama sekali tidak memiliki ketakcukupan. “Ego ideal” ini menjadi
terinternalisasi; kita membentuk pemahaman kita akan “diri”, “I”dentity kita,
dengan me(mis)identifikasi dengan ego ideal ini. Menurut Lacan, dengan
melakukan hal ini, kita membayangkan suatu diri yang tidak memiliki kekurangan,
tanpa gagasan ketiadaan atau ketidaklengkapan. Fiksi tentang diri yang stabil,
utuh, dan menyatu yang kita lihat di cermin menjadi suatu kompensasi karena
telah kehilangan ketunggalan (oneness) awal dengan tubuh sang ibu. Singkatnya,
menurut Lacan, kita kehilangan kesatuan kita dengan tubuh ibu, the state of
“nature”, untuk memasuki budaya, tetapi kita melindungi diri kita sendiri dari
pengetahuan akan kehilangan tersebut dengan salah memahami (misperceive) diri
kita sendiri sebagai tidak kekurangan apa pun—sebagai wujud utuh.
Imajiner
adalah tempat atau fase psikis di mana sang anak memproyeksikan ide-idenya
tentang “diri” atas citraan cermin yang dilihatnya. Tahapan cermin menyemen
dikotomi diri/liyan, yang sebelumnya hanya dikenali sang anak sebagai “liyan”,
tetapi bukan “diri”. Bagi Lacan, identifikasi “diri” selalu dipandang dari sisi
“liyan”. Hal ini tidaklah sama dengan oposisi biner, di mana “diri” = sesuatu
yang bukan “liyan”, dan “liyan” = sesuatu yang bukan “diri”. Malahan, “diri”
adalah “liyan”, dalam pandangan Lacan; ide tentang diri, yaitu wujud batin yang
kita tandai dengan “Aku”, berlandaskan pada suatu citraan, suatu liyan. Konsep
tentang diri mengandalkan pada misidentifikasi seseorang dengan citraan akan
liyan ini.
Lacan
menggunakan istilah “liyan” dalam beberapa cara, yang bahkan membuat istilah
tersebut semakin sulit dipahami. Pertama, dan barangkali yang paling mudah,
adalah dalam pemahaman akan diri/liyan, di mana “liyan” adalah “bukan-aku”;
tetapi, sebagaimana telah kita lihat, “liyan” menjadi “aku” di tahapan cermin.
Lacan juga menggunakan ide tentang Liyan, dengan “L” besar, untuk membedakan
antara konsep tentang liyan dan liyan-liyan aktual. Citraan yang dilihat sang
anak di cermin merupakan liyan, dan itu memberikan sang anak ide tentang Liyan
sebagai suatu posibilitas struktural, sesuatu yang memungkinkan posibilitas
struktural dari “Aku” atau diri. Dengan kata lain, sang anak menghadapi
liyan-liyan aktual—citraannya sendiri, orang lain—dan memahami ide tentang
“Keliyanan” (Otherness), sesuatu yang bukan dirinya sendiri. Menurut Lacan,
gagasan tentang Keliyanan, dijumpai pada fase Imajiner (dan diasosiasikan denga
permintaan), muncul sebelum pemahaman akan “diri”, yang dibangun di atas ide
tentang Keliyanan. bersambung
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D