Hello

Welcome To My Blog

MISBAHUDDIN HASAN
Semoga Tulisan di Blog ini Bermanfaat Bagi Anda

Recent

Memahami Diri dalam Wacana Psikologi (8)

Citra cermin atau oknum utuh yang salah dipersepsi oleh sang bayi sebagai dirinya, dikenal dalam terminologi psikoanalisis sebagai “ego ideal”, suatu diri utuh sempurna yang sama sekali tidak memiliki ketakcukupan. “Ego ideal” ini menjadi terinternalisasi; kita membentuk pemahaman kita akan “diri”, “I”dentity kita, dengan me(mis)identifikasi dengan ego ideal ini. Menurut Lacan, dengan melakukan hal ini, kita membayangkan suatu diri yang tidak memiliki kekurangan, tanpa gagasan ketiadaan atau ketidaklengkapan. Fiksi tentang diri yang stabil, utuh, dan menyatu yang kita lihat di cermin menjadi suatu kompensasi karena telah kehilangan ketunggalan (oneness) awal dengan tubuh sang ibu. Singkatnya, menurut Lacan, kita kehilangan kesatuan kita dengan tubuh ibu, the state of “nature”, untuk memasuki budaya, tetapi kita melindungi diri kita sendiri dari pengetahuan akan kehilangan tersebut dengan salah memahami (misperceive) diri kita sendiri sebagai tidak kekurangan apa pun—sebagai wujud utuh.

Lacan mengatakan bahwa konsep-diri sang anak (ego atau “I”dentity-nya) tidak akan pernah cocok dengan wujudnya sendiri. Imago-nya di cermin itu lebih kecil dan juga lebih stabil daripada sang anak, dan Imago tersebut selalu “liyan” daripada sang anak—sesuatu di luar dirinya. Sang anak, untuk selama masa hidupnya, akan salah mengenali dirinya sebagai “liyan”, sebagai citraan di cermin yang menyediakan suatu ilusi akan diri dan penguasaan (mastery).

Imajiner adalah tempat atau fase psikis di mana sang anak memproyeksikan ide-idenya tentang “diri” atas citraan cermin yang dilihatnya. Tahapan cermin menyemen dikotomi diri/liyan, yang sebelumnya hanya dikenali sang anak sebagai “liyan”, tetapi bukan “diri”. Bagi Lacan, identifikasi “diri” selalu dipandang dari sisi “liyan”. Hal ini tidaklah sama dengan oposisi biner, di mana “diri” = sesuatu yang bukan “liyan”, dan “liyan” = sesuatu yang bukan “diri”. Malahan, “diri” adalah “liyan”, dalam pandangan Lacan; ide tentang diri, yaitu wujud batin yang kita tandai dengan “Aku”, berlandaskan pada suatu citraan, suatu liyan. Konsep tentang diri mengandalkan pada misidentifikasi seseorang dengan citraan akan liyan ini.

Lacan menggunakan istilah “liyan” dalam beberapa cara, yang bahkan membuat istilah tersebut semakin sulit dipahami. Pertama, dan barangkali yang paling mudah, adalah dalam pemahaman akan diri/liyan, di mana “liyan” adalah “bukan-aku”; tetapi, sebagaimana telah kita lihat, “liyan” menjadi “aku” di tahapan cermin. Lacan juga menggunakan ide tentang Liyan, dengan “L” besar, untuk membedakan antara konsep tentang liyan dan liyan-liyan aktual. Citraan yang dilihat sang anak di cermin merupakan liyan, dan itu memberikan sang anak ide tentang Liyan sebagai suatu posibilitas struktural, sesuatu yang memungkinkan posibilitas struktural dari “Aku” atau diri. Dengan kata lain, sang anak menghadapi liyan-liyan aktual—citraannya sendiri, orang lain—dan memahami ide tentang “Keliyanan” (Otherness), sesuatu yang bukan dirinya sendiri. Menurut Lacan, gagasan tentang Keliyanan, dijumpai pada fase Imajiner (dan diasosiasikan denga permintaan), muncul sebelum pemahaman akan “diri”, yang dibangun di atas ide tentang Keliyanan. bersambung


Share this:

PENULIS

Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas

BERGABUNGDENGAN PERCAKAPAN

0 komentar:

Post a Comment

Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D