Memahami Diri dalam Wacana Psikologi (10)
Tahapan
cermin itu merupakan praoedipal. Diri dikonstruksikan dalam hubungan dengan
liyan, dengan ide tentang Liyan, dan diri ingin menyatu dengan Liyan.
Sebagaimana dalam dunia Freud, liyan yang paling penting dalam kehidupan anak
adalah sang ibu; sehingga sang anak ingin menyatu dengan ibunya. Dalam
pandangan Lacan, inilah permintaan sang anak bahwa keretakan diri/liyan bisa
dihapuskan. Sang anak memutuskan bahwa ia bisa menyatu dengan sang ibu jika ia
menjadi apa yang diinginkan sang ibu—dalam pandangan Lacan, sang anak mencoba
untuk memenuhi hasrat sang ibu. Hasrat sang ibu (terbentuk oleh masuknya sang
ibu ke dalam tahapan Simbolik, karena dia sudah lagi dewasa) adalah untuk tidak
memiliki kekurangan, atau Kekurangan (atau menjadi Liyan, pusat, tempat di mana
tak ada kekurangan). Hal ini sejalan dengan pandangan Freudian tentang kompleks
Oedipus, di mana sang anak ingin menyatu bersama ibunya dengan melakukan
hubungan seksual dengannya. Dalam model Freud, ide kekurangan tersebut
direpresentasikan dengan kekurangan akan penis. Anak lelaki yang ingin tidur
dengan ibunya ingin mengutuhkan kekurangannya dengan memenuhi ibunya dengan
penisnya.
Dalam
pandangan Freud, yang membuyarkan hasrat Oedipal ini, bagi sang anak lelaki
sekalipun, adalah sang ayah, yang mengancam kastrasi. Sang ayah mengancam untuk
membuat sang anak lelaki mengalami kekurangan atau ketiadaan penis, jika sang
anak mencoba menggunakan penisnya untuk menyelesaikan kekurangan ibunya akan
penis. Dalam pandangan Lacan, ancaman kastrasi adalah metafora bagi seluruh ide
tentang Kekurangan sebagai suatu konsep struktural. Bagi Lacan, bukanlah ayah
sebenarnya yang mengancam kastrasi. Malahan, karena ide tentang kekurangan,
atau Kekurangan, itu esensial bagi konsep bahasa, karena konsep Kekurangan
adalah bagian dari strukturasi dasar dari bahasa, maka sang ayah menjadi suatu
fungsi dari struktur linguistik. Sang Ayah, ketimbang menjadi suatu oknum,
malahan menjadi prinsip penstrukturan dari tatanan Simbolik.
Bagi
Lacan, kemarahan ayah dalam teori Freud menjadi Nama-Sang-Ayah, atau
Hukum-Sang-Ayah, atau terkadang hanya Hukum. Ketundukan kepada aturan bahasa
itu sendiri—Hukum-Sang-Ayah—dibutuhkan untuk memasuki tatanan Simbolik. Untuk
menjadi subjek yang berbicara, Anda harus tunduk, Anda harus mematuhi, hukum
dan aturan bahasa. Lacan menunjukkan ide tentang struktur bahasa, dan
aturannya, sebagai paternal secara khusus. Dia menyebut aturan bahasa tersebut
sebagai Hukum-Sang-Ayah untuk menghubungkannya dengan peristiwa masuknya ke
dalam Simbolik, struktur bahasa, dan kepada gagasan Freud tentang kompleks
oedipus dan kastrasi.
Hukum-Sang-Ayah,
atau Nama-Sang-Ayah, merupakan istilah lain bagi Liyan, bagi pusat dari sistem,
sesuatu yang mengatur seluruh struktur—bentuknya dan bagaimana seluruh elemen
dalam sistem tersebut dapat berpindah dan membentuk hubungan. Pusat ini disebut
juga dengan Phallus, untuk menekankan dengan lebih kuat sifat dasar patriarkal
dari tatanan Simbolik. Phallus, sebagai pusat, membatasi permainan
elemen-elemen, dan memberikan stabilitas kepada seluruh struktur. Phallus
menjangkarkan rantai pertandaan yang, dalam ketaksadaran, hanya terapung-apung
dan dan tidak tetap, selalu menggelincir dan bergeser. Phallus tersebut
menghentikan permainan, sehingga penanda dapat memiliki beberapa makna yang
stabil. Ini dikarenakan Phallus adalah pusat dari tatanan Simbolik, dari
bahasa, bahwa istilah “Aku” yang menandai ide tentang diri (dan, sebagai
tambahan, mengapa kata-kata lainnya memiliki makna stabil). bersambung
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D