Hello

Welcome To My Blog

MISBAHUDDIN HASAN
Semoga Tulisan di Blog ini Bermanfaat Bagi Anda

Recent

Memahami Diri dalam Wacana Psikologi (10)

Tahapan cermin itu merupakan praoedipal. Diri dikonstruksikan dalam hubungan dengan liyan, dengan ide tentang Liyan, dan diri ingin menyatu dengan Liyan. Sebagaimana dalam dunia Freud, liyan yang paling penting dalam kehidupan anak adalah sang ibu; sehingga sang anak ingin menyatu dengan ibunya. Dalam pandangan Lacan, inilah permintaan sang anak bahwa keretakan diri/liyan bisa dihapuskan. Sang anak memutuskan bahwa ia bisa menyatu dengan sang ibu jika ia menjadi apa yang diinginkan sang ibu—dalam pandangan Lacan, sang anak mencoba untuk memenuhi hasrat sang ibu. Hasrat sang ibu (terbentuk oleh masuknya sang ibu ke dalam tahapan Simbolik, karena dia sudah lagi dewasa) adalah untuk tidak memiliki kekurangan, atau Kekurangan (atau menjadi Liyan, pusat, tempat di mana tak ada kekurangan). Hal ini sejalan dengan pandangan Freudian tentang kompleks Oedipus, di mana sang anak ingin menyatu bersama ibunya dengan melakukan hubungan seksual dengannya. Dalam model Freud, ide kekurangan tersebut direpresentasikan dengan kekurangan akan penis. Anak lelaki yang ingin tidur dengan ibunya ingin mengutuhkan kekurangannya dengan memenuhi ibunya dengan penisnya.

Dalam pandangan Freud, yang membuyarkan hasrat Oedipal ini, bagi sang anak lelaki sekalipun, adalah sang ayah, yang mengancam kastrasi. Sang ayah mengancam untuk membuat sang anak lelaki mengalami kekurangan atau ketiadaan penis, jika sang anak mencoba menggunakan penisnya untuk menyelesaikan kekurangan ibunya akan penis. Dalam pandangan Lacan, ancaman kastrasi adalah metafora bagi seluruh ide tentang Kekurangan sebagai suatu konsep struktural. Bagi Lacan, bukanlah ayah sebenarnya yang mengancam kastrasi. Malahan, karena ide tentang kekurangan, atau Kekurangan, itu esensial bagi konsep bahasa, karena konsep Kekurangan adalah bagian dari strukturasi dasar dari bahasa, maka sang ayah menjadi suatu fungsi dari struktur linguistik. Sang Ayah, ketimbang menjadi suatu oknum, malahan menjadi prinsip penstrukturan dari tatanan Simbolik.

Bagi Lacan, kemarahan ayah dalam teori Freud menjadi Nama-Sang-Ayah, atau Hukum-Sang-Ayah, atau terkadang hanya Hukum. Ketundukan kepada aturan bahasa itu sendiri—Hukum-Sang-Ayah—dibutuhkan untuk memasuki tatanan Simbolik. Untuk menjadi subjek yang berbicara, Anda harus tunduk, Anda harus mematuhi, hukum dan aturan bahasa. Lacan menunjukkan ide tentang struktur bahasa, dan aturannya, sebagai paternal secara khusus. Dia menyebut aturan bahasa tersebut sebagai Hukum-Sang-Ayah untuk menghubungkannya dengan peristiwa masuknya ke dalam Simbolik, struktur bahasa, dan kepada gagasan Freud tentang kompleks oedipus dan kastrasi.

Hukum-Sang-Ayah, atau Nama-Sang-Ayah, merupakan istilah lain bagi Liyan, bagi pusat dari sistem, sesuatu yang mengatur seluruh struktur—bentuknya dan bagaimana seluruh elemen dalam sistem tersebut dapat berpindah dan membentuk hubungan. Pusat ini disebut juga dengan Phallus, untuk menekankan dengan lebih kuat sifat dasar patriarkal dari tatanan Simbolik. Phallus, sebagai pusat, membatasi permainan elemen-elemen, dan memberikan stabilitas kepada seluruh struktur. Phallus menjangkarkan rantai pertandaan yang, dalam ketaksadaran, hanya terapung-apung dan dan tidak tetap, selalu menggelincir dan bergeser. Phallus tersebut menghentikan permainan, sehingga penanda dapat memiliki beberapa makna yang stabil. Ini dikarenakan Phallus adalah pusat dari tatanan Simbolik, dari bahasa, bahwa istilah “Aku” yang menandai ide tentang diri (dan, sebagai tambahan, mengapa kata-kata lainnya memiliki makna stabil). bersambung

Share this:

PENULIS

Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas

BERGABUNGDENGAN PERCAKAPAN

0 komentar:

Post a Comment

Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D