Memahami Diri dalam Wacana Psikologi (9)
Ketika
sang anak telah memformulasikan beberapa ide tentang Keliyanan, dan tentang
diri yang teridentifikasi dengan “liyan”-nya sendiri, citraan cerminnya
sendiri, kemudian sang anak mulai memasuki wilayah Simbolik. Tatanan Simbolik
dan Imajiner tersebut saling tumpang-tindih, tidak seperti fase-fase
perkembangan Freud; tak ada tanda atau pembagian yang jelas antara kedua
tatanan tersebut, dan dalam beberapa hal, keduanya selalu koeksis. Tatanan
Simbolik merupakan struktur bahasa itu sendiri; kita harus memasukinya agar
menjadi subjek yang berbicara, dan untuk menandai diri kita dengan “Aku”.
Fondasi untuk memiliki “diri” berada pada proyeksi Imajiner akan diri atas
citra spekular, liyan dalam cermin, dan memiliki “diri” terungkapkan dalam
perkataan “Aku”, yang hanya bisa terjadi dalam tatanan Simbolik, itulah mengapa
kedua tatanan tersebut koeksis.
Permainan
fort/da yang dimainkan oleh Anna, dalam uraian Freud, menurut pandangan Lacan
merupakan tanda masuknya anak ke dalam tahapan Simbolik, karena anak tersebut
menggunakan bahasa untuk menegosiasi ide tentang ketiadaan dan ide tentang
Keliyanan sebagai suatu posibilitas struktural atau kategori. Kumparan
tersebut, menurut Lacan, berfungsi sebagai “objet petit a”, atau “objet petit
autre”—suatu objek yang merupakan “liyan” kecil (liyan dengan l kecil). Ketika
melemparkannya jauh, sang anak mengenali bahwa liyan bisa menghilang; ketika
menariknya kembali, sang anak mengetahui bahwa liyan dapat kembali. Lacan yang
menekankan pada gagasan “fort’, bersikukuh bahwa Anna kecil lebih menaruh perhatian
terhadap ide kekurangan atau ketiadaan dari “objet petit autre”. Bagi sang
anak, “liyan kecil” tersebut menggambarkan ihwal ide kekurangan, kehilangan,
ketiadaan, yang menunjukkan pada sang anak bahwa ia tidaklah utuh dalam dan
dari dirinya sendiri. “Liyan kecil” juga merupakan pintu gerbang ke tatanan
Simbolik, ke bahasa, karena bahasa itu sendiri merupakan dasar pemikiran
tentang ide kekurangan atau ketiadaan.
Lacan
mengatakan bahwa ide-ide ini—tentang liyan dan Liyan, tentang kekurangan dan
ketiadaan, tentang (mis)identifikasi diri dengan liyan/Liyan—seluruhnya
berlangsung pada tingkatan individu, pada setiap anak, tetapi mereka membentuk
struktur dasar dari tatanan Simbolik, dari bahasa, yang harus dimasuki sang
anak untuk menjadi seorang dewasa anggota suatu kebudayaan. Maka keliyanan yang
memegang peranan di permainan fort/da (juga oleh pembedaan yang dibuat pada
Fase Cermin antara diri dan liyan, ibu dan anak) menjadi ide-ide kategorikal
atau struktural. Jadi, di tataran Simbolik, terdapat struktur (prinsip
penstrukturan) dari Keliyanan, dan suatu prinsip penstrukturan dari Kekurangan.
Liyan
(dengan L besar) merupakan suatu posisi struktural di tatanan Simbolik. Inilah
tempat yang didapatkan semua orang untuk melebur, untuk mengisarkan pemisahan
antara “diri” dan “liyan”. Dalam pandangan Derrida, ini merupakan pusat dari
sistem tersebut, dari Simbolik dan/atau dari bahasa itu sendiri. Dengan begitu,
Liyan merupakan sesuatu yang setiap elemen terhubung kepadanya. Namun, sebagai
pusat, Liyan (sekali lagi, bukan oknum atau posisi) tidak bisa menyatu dengan
elemen-elemen tersebut. Tidak ada yang bisa menyatu di pusat dengan Liyan,
sekalipun segala sesuatu di sistem (misalnya orang-orang) menginginkannya.
Sehingga posisi Liyan menciptakan dan menopang kekurangan yang tiada akhir,
yang Lacan sebut sebagai hasrat. Hasrat adalah hasrat menjadi Liyan.
Menurut
definisi, hasrat tidak akan pernah bisa dipenuhi: itu bukanlah hasrat untuk
sejumlah objek (yang akan menjadi kebutuhan) atau hasrat akan cinta atau pengakuan
oknum lainnya atas diri sendiri (yang akan menjadi permintaan), tetapi hasrat
untuk menjadi pusat dari sistem, pusat dari Simbolik, pusat dari bahasa itu
sendiri. Pusat tersebut memiliki banyak nama dalam teori Lacan. Itu adalah
Liyan; itu juga disebut Phallus. Di sinilah Lacan sekali lagi meminjam dari
konsep Oedipus asli Freud. bersambung
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D