Hello

Welcome To My Blog

MISBAHUDDIN HASAN
Semoga Tulisan di Blog ini Bermanfaat Bagi Anda

Recent

Memahami Diri dalam Wacana Psikologi (9)

Ketika sang anak telah memformulasikan beberapa ide tentang Keliyanan, dan tentang diri yang teridentifikasi dengan “liyan”-nya sendiri, citraan cerminnya sendiri, kemudian sang anak mulai memasuki wilayah Simbolik. Tatanan Simbolik dan Imajiner tersebut saling tumpang-tindih, tidak seperti fase-fase perkembangan Freud; tak ada tanda atau pembagian yang jelas antara kedua tatanan tersebut, dan dalam beberapa hal, keduanya selalu koeksis. Tatanan Simbolik merupakan struktur bahasa itu sendiri; kita harus memasukinya agar menjadi subjek yang berbicara, dan untuk menandai diri kita dengan “Aku”. Fondasi untuk memiliki “diri” berada pada proyeksi Imajiner akan diri atas citra spekular, liyan dalam cermin, dan memiliki “diri” terungkapkan dalam perkataan “Aku”, yang hanya bisa terjadi dalam tatanan Simbolik, itulah mengapa kedua tatanan tersebut koeksis.


Permainan fort/da yang dimainkan oleh Anna, dalam uraian Freud, menurut pandangan Lacan merupakan tanda masuknya anak ke dalam tahapan Simbolik, karena anak tersebut menggunakan bahasa untuk menegosiasi ide tentang ketiadaan dan ide tentang Keliyanan sebagai suatu posibilitas struktural atau kategori. Kumparan tersebut, menurut Lacan, berfungsi sebagai “objet petit a”, atau “objet petit autre”—suatu objek yang merupakan “liyan” kecil (liyan dengan l kecil). Ketika melemparkannya jauh, sang anak mengenali bahwa liyan bisa menghilang; ketika menariknya kembali, sang anak mengetahui bahwa liyan dapat kembali. Lacan yang menekankan pada gagasan “fort’, bersikukuh bahwa Anna kecil lebih menaruh perhatian terhadap ide kekurangan atau ketiadaan dari “objet petit autre”. Bagi sang anak, “liyan kecil” tersebut menggambarkan ihwal ide kekurangan, kehilangan, ketiadaan, yang menunjukkan pada sang anak bahwa ia tidaklah utuh dalam dan dari dirinya sendiri. “Liyan kecil” juga merupakan pintu gerbang ke tatanan Simbolik, ke bahasa, karena bahasa itu sendiri merupakan dasar pemikiran tentang ide kekurangan atau ketiadaan.


Lacan mengatakan bahwa ide-ide ini—tentang liyan dan Liyan, tentang kekurangan dan ketiadaan, tentang (mis)identifikasi diri dengan liyan/Liyan—seluruhnya berlangsung pada tingkatan individu, pada setiap anak, tetapi mereka membentuk struktur dasar dari tatanan Simbolik, dari bahasa, yang harus dimasuki sang anak untuk menjadi seorang dewasa anggota suatu kebudayaan. Maka keliyanan yang memegang peranan di permainan fort/da (juga oleh pembedaan yang dibuat pada Fase Cermin antara diri dan liyan, ibu dan anak) menjadi ide-ide kategorikal atau struktural. Jadi, di tataran Simbolik, terdapat struktur (prinsip penstrukturan) dari Keliyanan, dan suatu prinsip penstrukturan dari Kekurangan.


Liyan (dengan L besar) merupakan suatu posisi struktural di tatanan Simbolik. Inilah tempat yang didapatkan semua orang untuk melebur, untuk mengisarkan pemisahan antara “diri” dan “liyan”. Dalam pandangan Derrida, ini merupakan pusat dari sistem tersebut, dari Simbolik dan/atau dari bahasa itu sendiri. Dengan begitu, Liyan merupakan sesuatu yang setiap elemen terhubung kepadanya. Namun, sebagai pusat, Liyan (sekali lagi, bukan oknum atau posisi) tidak bisa menyatu dengan elemen-elemen tersebut. Tidak ada yang bisa menyatu di pusat dengan Liyan, sekalipun segala sesuatu di sistem (misalnya orang-orang) menginginkannya. Sehingga posisi Liyan menciptakan dan menopang kekurangan yang tiada akhir, yang Lacan sebut sebagai hasrat. Hasrat adalah hasrat menjadi Liyan.


Menurut definisi, hasrat tidak akan pernah bisa dipenuhi: itu bukanlah hasrat untuk sejumlah objek (yang akan menjadi kebutuhan) atau hasrat akan cinta atau pengakuan oknum lainnya atas diri sendiri (yang akan menjadi permintaan), tetapi hasrat untuk menjadi pusat dari sistem, pusat dari Simbolik, pusat dari bahasa itu sendiri. Pusat tersebut memiliki banyak nama dalam teori Lacan. Itu adalah Liyan; itu juga disebut Phallus. Di sinilah Lacan sekali lagi meminjam dari konsep Oedipus asli Freud. bersambung

Share this:

PENULIS

Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas

BERGABUNGDENGAN PERCAKAPAN

0 komentar:

Post a Comment

Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D