Asal Usul Islam 5
Masalah lain yang juga selalu
disalahpahami adalah makna jihad dalam Islam. Selama ini jihad diartikan
sebagai persetujuan Islam untuk menggunakan cara kekerasan. Kesan, bahwa Islam
mengabsahkan cara kekerasan dalam mencapai tujuannya terus berlangsung. Agama
tidak dapat disebarkan dengan pedang. Ia tersebar karena kesadaran. Orang harus
kembali pada asal-usul Islam jika masalah ini ingin dipahami dalam konteks yang
tepat.
Pada periode permulaan Islam di Mekkah, kaum
muslimin merupakan minoritas kecil yang berhadapan dengan pedagang-pedagang
kaya Mekkah yang mapan dan kuat. Mereka hampir-hampir tidak bisa mengangkat
senjata menghadapi penantang-penantangnya yang kuat itu. Dalam menghadapi
penindasan seperti itu, satu-satunya jalan yang mereka tempuh adalah pindah ke
suatu negeri yang lebih aman dan hal ini dilakukan oleh kaum Muslimin setelah
mendapat perintah Nabi. Mula-mula serombongan kaum Muslimin hijrah ke Ethiopia
dan rombongan berikutnya hijrah ke Medinah. Kemudian Nabi juga ikut bergabung.
Beberapa orang dari suku Aus dan Khazraj bergabung dengan Nabi dan di sana nabi
menyusun kekuatan. Di Medinah juga terdapat beberapa suku Yahudi yang cukup
berpengaruh. Nabi membuat suatu kesepakatan dengan berbagai suku, termasuk kaum
Yahudi, dalam upayanya membentuk sebuah masyarakat yang kohesif.
Di sini, kita harus membedakan
antara perang untuk menyebarkan agama dan perang sebagai sekedar cara untuk
mempertahankan diri ketika berhadapan dengan musuh yang militan. Sejauh
dikaitkan dengan kategori yang pertama, Islam justru tidak percaya pada
penggunaan kekerasan. Sikap Al-Qur’an jelas: La Ikraha fi al-Din (tidak ada paksaan dalam agama),20 dan selanjutnya
ia menyatakan: “Katakanlah hai
orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan engkau
tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.21 Tidak perlu orang
dipaksa untuk menerima suatu agama. Konversi agama mestilah dibebaskan dari
ancaman dan pengaruh. Menurut Al-Qur’an, Tuhan telah membuat jelas jalan yang
lurus dan membedakannya dengan jalan yang salah. Adalah hak seseorang untuk
mengikuti jalan yang benar atau mengikuti jalan yang salah. “Seseorang boleh melanjutkan mengikuti
thagut, atau percaya kepada Tuhan”.22 Tidak ada paksaan sama sekali.
Masalahnya menjadi lain, bila
seseorang disiksa, disakiti atau diserang. Islam memperbolehkan penggunaan
kekerasan atau perang hanya dalam kasus-kasus seperti itu. Dr. Khalfallah tetap
berpendapat bahwa orang Islam tidak pernah memaksa untuk membangun kekuasaan atas
orang lain atau untuk merampas kemerdekaannya, atau untuk menganiaya orang
lain, untuk menumpahkan darah orang lain, atau merebut hak orang lain, atau
mengeksploitasi kekayaan orang lain, atau menindas orang lain. Ia selanjutnya
mengatakan, dengan mengutip Muhammad Abduh, bahwa memaksa orang lain untuk
memeluk suatu agama tidak diperbolehkan, begitu pula orang lain tidak boleh
memaksa seseorang untuk meninggalkan agama yang telah dipeluknya.23 Ketika seseorang
dianiaya atau diusir dari rumahnya sendiri, maka ia harus melawan tirani itu.
Menurut etik Al-Qur’an, melindungi orang-orang yang tertindas adalah suatu
keharusan. Al-Qur’an berkata:
“Mengapa kamu tidak mau
berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki,
perempuan dan anak-anak yang semuanya berdo’a: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami
dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami perlindungan
dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong di sisi-Mu”.24
Juga dikatakan:
“Dan perangilah mereka,
supaya jangan ada fitnah lagi, dan supaya agama itu semata-mata bagi Allah.
Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah maha melihat
atas apa yang mereka kerjakan.25
Dengan demikian jelas, bahwa berjuang (berperang)
diizinkan dalam Al-Qur’an tidak untuk memaksa seseorang untuk memeluk Islam,
tapi untuk mengakhiri penganiayaan dan untuk melindungi orang-orang lemah dari
penindasan orang-orang kuat.
Kajian yang seksama atas Al-Qur’an juga menunjukkan,
bahwa Al-Qur’an berpihak pada posisi orang-orang yang lemah dalam menghadapi
orang-orang yang kuat. Term yang digunakan Al-Qur’an bagi mereka adalah mustadh’afin (orang-orang yang
dilemahkan) dan mustakbirin (orang-orang
yang sombong). Semua Nabi Israel digambarkan di dalam Al-Qur’an sebagai pembela
mustadh’afin menghadapi mustakbirin, yakni orang-orang kaya dan penguasa suatu
negeri. Karena itu, nabi Israel terkemuka, Musa, digambarkan sebagai pembebas
orang-orang yang tertindas (bangsa Israel) dari penindasan Fir’aun
(mustakbirin). Simpati Tuhan pun ditujukan kepada orang-orang yang tertindas
itu. Tuhan berfirman dalam Al-Qur’an: "Dan
Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan
hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang
mewarisi bumi."26 Inilah konsep
Al-Qur’an tentang kepemimpinan bagi orang tertindas.
Pertarungan antara
mustadh’afin dan mustakbirin itu akan terus berlangsung, hingga Din Allah yang berbasis pada Tauhid
menyatukan semua rakyat (tanpa perbedaan lagi antara mustadh’afin dan
mustakbirin, orang-orang yang menindas dan orang-orang yang tertindas,
kaya-miskin) sehingga menjadi suatu masyarakat “tanpa kelas”. Dari perspektif
ini jelaslah bahwa Al-Qur’an menghadirkan suatu teologi pembebas dan dengan
demikian membuat teologi yang sebelumnya mengabdi kepada kelompok penguasa yang
eksploitatif menjadi teologi pembebasan. Sayangnya, Islam dalam fase-fase
berikutnya, justru mendukung kemapanan itu. Tugas generasi baru Islamlah untuk
merekonstruksi lagi teologi Islam revolusioner-transformatif dan membebaskan
itu.
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D