Akhir Dunia Sains (2)
Dalam mencoba memahami suasana hati
para ilmuwan modern, saya mendapati bahwa ide-ide dari kritik sastra dapat
dimanfaatkan. Dalam esainya pada th 1973 yang berpengaruh, "The Anxiety of
Influence" (Kecemasan Pengaruh), Harold Bloom menyamakan penyair modern
dengan Setan dalam karya Milton, "Paradise Lost". Seperti Setan yang
berjuang untuk menampilkan individualitasnya dengan menantang kesempurnaan
Tuhan, begitu pula penyair modern terlibat pergulatan seperti Oedipus untuk menemukan
jatidirinya dalam hubungannya dengan Shakespeare, Dante, dan para master besar
lainnya. Upaya itu mau tidak mau akan sia-sia, kata Bloom, karena tidak ada
penyair bisa berharap untuk mendekati, apalagi melampaui, kesempurnaan para
pendahulu itu. Semua penyair modern pada dasarnya adalah tokoh-tokoh tragis,
pendatang belakangan.
Para ilmuwan modern pun pendatang
belakangan, dan beban mereka jauh lebih berat ketimbang para penyair. Para
ilmuwan tidak hanya harus menerima "King Lear" dari Shakespeare, tapi
juga hukum-hukum gerak dari Newton, teori seleksi alamiah dari Darwin, dan
teori relativitas umum dari Einstein. Teori-teori ini bukan hanya indah; mereka
juga benar, benar secara empiris, sedemikian rupa tidak dapat ditiru oleh suatu
karya seni. Kebanyakan peneliti terpaksa mengakui ketidakmampuan mereka untuk
melampaui apa yang oleh Bloom disebut "kejengahan suatu tradisi yang sudah
menjadi begitu kaya sehingga tidak membutuhkan apa-apa lagi." Mereka
mencoba memecahkan apa yang secara merendahkan disebut oleh filsuf ilmu Thomas
Kuhn sebagai "teka-teki" (puzzles), yakni problem-problem yang
pemecahannya sekadar mendukung paradigma yang ada (tidak menghasilkan paradigma
baru). Mereka sekadar memperhalus dan menerapkan temuan-temuan rintisan yang
brilyan dari para pendahulu mereka. Mereka mencoba mengukur massa quark dengan
lebih teliti, atau menetapkan bagaimana suatu bagian tertentu dari DNA menuntun
perkembangan otak embrionik. Sedangkan yang lain menjadi apa yang dilecehkan
oleh Bloom sebagai "sekadar pemberontak, penjungkir-balik kekanak-kanakan
dari kategori-kategori moral konvensional." Para pemberontak ini
mengecilkan arti teori-teori ilmiah yang
dominan sebagai rekayasa sosial yang rapuh, alih-alih sebagai deskripsi dari
alam yang teruji secara ketat.
Apa yang oleh Bloom disebut
"penyair kuat" menerima kesempurnaan para pendahulu mereka, namun
berupaya melampauinya dengan berbagai muslihat, termasuk penyalahtafsiran
secara halus terhadap karya-karya pendahulu mereka; hanya dengan demikian para
penyair modern dapat membebaskan diri dari pengaruh masa lampau yang
melumpuhkan. Terdapat pula para "ilmuwan kuat", yakni mereka yang
mencoba menyalahtafsirkan, dan dengan demikian mengatasi, mekanika kuantum atau
teori "big bang" atau evolusi Darwin. Roger Penrose adalah seorang
ilmuwan kuat. Untuk sebagian besar, ia dan orang-orang lain sejenisnya hanya
mempunyai satu pilihan: yakni menjalankan sains dengan cara yang spekulatif,
pasca-empiris, yang saya sebut "sains ironis". Sains ironis menyerupai
kritik sastra dalam hal menyajikan sudut pandang-sudut pandang, opini-opini,
yang setidak-tidaknya menarik, yang merangsang komentar lebih lanjut.
Tetapi sains ironis tidak mendekat
kepada kebenaran. Ia tidak dapat mencapai kejutan-kejutan yang dapat dibuktikan
secara empiris, yang memaksa para ilmuwan mengadakan perbaikan penting dalam
deskripsi mereka tentang realitas. Strategi yang paling sering dipakai oleh
kaum ilmuwan kuat adalah menampilkan semua kelemahan dari pengetahuan ilmiah
yang ada sekarang, semua pertanyaan
yang belum terjawab. Tetapi pertanyaan-pertanyaan itu mungkin tidak akan pernah
terjawab secara definitif oleh karena keterbatasan sains manusiawi. Bagaimana
persisnya alam semesta ini tercipta? Mungkinkah alam semesta kita merupakan
satu saja dari sejumlah alam semesta yang tak terbatas banyaknya? Mungkinkah
quark dan elektron terdiri dari partikel-partikel yang lebih kecil lagi, dan
seterusnya ad infinitum? Apakah makna sesungguhnya dari mekanika kuantum?
(Kebanyakan pertanyaan tentang makna hanya dapat dijawab secara ironis,
sebagaimana diketahui dalam kritik sastra.) Biologi juga mempunyai teka-tekinya
sendiri yang tak terpecahkan. Bagaimana persisnya kehidupan mulai di bumi?
Apakah terjadinya kehidupan dan perjalanan evolusinya seperti yang kita lihat
ini bersifat niscaya (tidak mungkin ada alternatif lain)?
Pelaku sains ironis mempunyai satu
kelebihan dibandingkan penyair kuat: yakni selera pembaca awam terhadap
"revolusi" ilmiah. Sementara sains empiris membatu, para jurnalis
seperti saya, yang memuaskan kehausan masyarakat, akan mengalami tekanan yang
semakin berat untuk menampilkan teori-teori yang dianggap melampaui mekanika
kuantum atau teori "big bang" atau seleksi alamiah. Bagaimana pun
juga, para jurnalislah yang sebagian besar bertanggung-jawab bagi terciptanya
kesan populer bahwa bidang-bidang seperti khaos dan kompleksitas mewakili sains
baru yang lebih tinggi daripada metode reduksionis dari Newton, Einstein, dan
Darwin. Para jurnalis, termasuk saya, telah membantu ide-ide tentang kesadaran
dari Roger Penrose diterima oleh kalangan yang jauh lebih luas dari yang
sepatutnya, menilik kedudukannya yang lemah di kalangan ahli neurosains
profesional.
Saya tidak bermaksud menyiratkan
bahwa sains ironis tidak punya nilai. Jauh dari itu. Setidak-tidaknya, sains
ironis, seperti juga seni dan filsafat yang besar, atau bahkan kritik sastra,
membangkitkan kekaguman dalam diri kita; ia memelihara ketakjuban kita di
hadapan misteri alam semesta. Tetapi ia tidak dapat mencapai cita-cita mengatasi
kebenaran yang telah kita miliki. Dan jelas ia tidak bisa memberikan kepada
kita--malah, ia melindungi kita dari--"Jawaban Terakhir", yakni suatu
kebenaran yang begitu kuat sehingga melenyapkan keingintahuan kita untuk
selama-lamanya. Bagaimana pun juga, sains sendiri mendalilkan bahwa kita
sebagai manusia selamanya harus puas dengan kebenaran-kebenaran sebagian.
Di dalam sebagian besar dari buku
ini, saya akan memeriksa sains seperti yang dipraktekkan pada hari ini, oleh
manusia. (Bab 2 membahas filsafat.) Dalam dua bab terakhir, saya membahas
kemungkinan--yang dikemukakan oleh ilmuwan dan filsuf yang jumlahnya
mengejutkan--bahwa pada suatu hari kelak kita manusia akan menciptakan mesin
yang cerdas yang dapat mengatasi pengetahuan kita yang kerdil. Dalam versi
favorit saya tentang skenario ini, mesin-mesin akan mengubah seluruh kosmos ini
menjadi jaringan pemroses informasi yang terpadu. Semua materi menjadi batin.
Jelas, proposal ini bukan sains, melainkan impian indah. Namun itu mengangkat
sejumlah pertanyaan menarik, pertanyaan yang biasanya dibahas oleh para ahli
teologi. Apakah yang akan dilakukan oleh sebuah komputer kosmik yang mahakuasa?
Apakah yang akan dipikirkannya? Saya hanya dapat membayangkan satu kemungkinan.
Ia akan mencoba menemukan "Jawaban Terakhir", jawaban yang
tersembunyi di balik semua pertanyaan, seperti seorang aktor yang memainkan
semua peran dari suatu lakon: Mengapa ada, dan bukan tidak ada? Di dalam
upayanya menemukan "Jawaban Terakhir" terhadap "Pertanyaan Terakhir", batin universal itu mungkin
menemukan batas terakhir dari pengetahuan. tamat
_________________________________________________________________
Diterjemahkan dari John Horgan, "The End
of Science: Facing the Limits of
Knowledge in the Twilight of Scientific
Age", 1997,
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D