Hello

Welcome To My Blog

MISBAHUDDIN HASAN
Semoga Tulisan di Blog ini Bermanfaat Bagi Anda

Recent

Memahami Diri dalam Wacana Psikologi (2)

Bagi Lacan, proyek ini adalah mustahil. Ego tidak akan pernah bisa menggantikan ketaksadaran, atau mengenyahkannya, atau mengendalikannya, karena, bagi Lacan, Ego atau diri “Aku” hanyalah ilusi, suatu produk dari ketaksadaran itu sendiri. Dalam psikoanalisis Lacanian, ketaksadaran adalah ranah dari seluruh kehidupan. Sementara Freud tertarik menginvestigasi bagaimana anak yang suka membangkang ternyata secara polimorfosa (polymorphous) membentuk ketaksadaran dan superego serta menjadi orang dewasa yang beradab dan produktif (juga heteroseksual yang normal), Lacan malahan tertarik menginvestigasi bagaimana bayi mendapatkan ilusi yang kemudian disebut sebagai “diri”.

Esainya yang membahas tentang Tahapan Cermin menggambarkan proses tersebut, serta menunjukkan bagaimana bayi membentuk ilusi akan ego, akan diri sadar yang utuh dan diidentifikasi dengan kata “Aku”.

Inti dari konsepsi tentang manusia, dalam pandangan Lacan, adalah gagasan bahwa ketaksadaran—yang mengatur seluruh faktor eksistensi manusia—terstruktur seperti bahasa. Dia melandaskan pandangan ini pada uraian Freud tentang dua mekanisme utama dari berbagai proses ketaksadaran, kondensasi dan pemindahan.



Di sini Lacan mengikuti ide-ide yang telah disusun oleh Saussure, tetapi sedikit memodifikasikannya. Sementara Saussure membicarakan tentang relasi antara penanda dan petanda, yang membentuk tanda, dan menegaskan bahwa struktur bahasa adalah relasi negatif di antara tanda-tanda (sebuah tanda menjadi tanda itu sendiri karena ia bukanlah tanda yang lainnya), Lacan malah memfokuskan pada relasi di antara penanda-penanda itu sendiri. Elemen-elemen dalam ketaksadaran—keinginan, hasrat, citraan—kesemuanya membentuk penanda (dan biasanya hal itu diungkapkan dalam hubungan verbal), dan penanda-penanda ini membentuk suatu “rantai pertandaan”—satu penanda memiliki makna hanya karena ia bukanlah penanda lainnya. Bagi Lacan, tak ada petanda; tak ada sesuatu yang pada akhirnya dirujuk oleh penanda. Kalaupun ada, sehingga makna penanda khusus mana pun akan relatif stabil, maka hal itu akan menjadi (dalam pandangan Saussure) suatu relasi pertandaan antara penanda dan petanda, dan bahwa relasi tersebut akan menciptakan atau menjamin semacam makna. Lacan mengatakan bahwa relasi-relasi pertandaan tersebut tidaklah eksis (setidaknya, di ketaksadaran); malahan, yang ada hanyalah relasi negatif, relasi nilai, di mana satu penanda adalah penanda itu sendiri karena ia bukanlah penanda yang lain. bersambung

Share this:

PENULIS

Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas

BERGABUNGDENGAN PERCAKAPAN

0 komentar:

Post a Comment

Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D