Hello

Welcome To My Blog

MISBAHUDDIN HASAN
Semoga Tulisan di Blog ini Bermanfaat Bagi Anda

Recent

Asal Usul Islam(4)

Haruslah diingat, bahwa ketika revolusi sosial didakwahkan melalui konsep-konsep religius, maka terma yang demikian itu pasti digunakan. Namun untuk mempertahankan keutuhan ruh dari ajaran-ajaran teologis ini, maka diskursus teologis ini harus ditafsirkan kembali dalam terma sosial, politik dan ekonomi modern. Ajakan teologis untuk membagikan kelebihan kekayaan di jalan Allah, dalam terma sosial modern, ditransformasikan menjadi penciptaan institusi-institusi yang tepat misalnya pemilikan alat-alat produksi oleh masyarakat, penarikan pajak melalui negara untuk pembiayaan berbagai proyek kesejahteraan rakyat, dan institusi-institusi lain yang mampu memeratakan kekayaan di dalam masyarakat.
Nabi tidak pernah berkeinginan untuk memutarbalik roda sejarah. Ia sangat keras mengecam praktek riba yang eksploitatif, namun sama sekali tidak mengharamkan laba yang diperlukan dalam masyarakat perdagangan. Hanya saja ia memberi batasan-batasan tertentu untuk menghilangkan praktek-praktek pemerasan dan penghisapan yang dilakukan oleh para pedagang yang serakah dan tidak jujur. Menghilangkan sama sekali laba akan membuat surut masyarakat komersial yang sedang berkembang. Tentu saja, semua praktek licik yang dianggap curang atau mengambil keuntungan yang tak semestinya dari seseorang sangat dikutuk. Ibnu Hazm, seorang ahli hukum terkenal menyatakan prinsip transaksi terbuka:
"Penjualan suatu barang yang fakta-faktanya tidak diketahui oleh penjual tidak dibenarkan, sekalipun diketahui oleh pembeli; demikian pula untuk komoditas yang tidak jelas bagi pembeli meskipun penjual mengetahuinya. Transaksi barang-barang yang kedua belah pihak (penjual dan pembeli) tidak mengetahui fakta-faktanya, juga tidak diperbolehkan (tidak sah)."17
Dalam situasi tertentu, bahkan di negara-negara sosialis sekali pun, perdagangan swasta, perusahaan bahkan produksi tetap diperbolehkan pada skala yang terbatas, selama tidak menimbulkan eksploitasi-eksploitasi terhadap orang lain. Seseorang tidak bisa kaku dalam masalah-masalah seperti ini. Sangat bergantung pada situasi tempat kita berurusan. Nabi sadar benar akan situasi dan idealismenya selalu mempunyai dimensi historis. Karena untuk berhasil, suatu revolusi sosial harus memiliki kesadaran sejarah dan harus merespon kebutuhan-kebutuhan yang secara sosial dirasakan oleh orang-orang yang terkena revolusi sosial tersebut. Konsep riba tersebut (biasanya diterjemahkan sebagai bunga) juga harus dipahami dalam konteks sejarah yang tepat. Motif nyata untuk melarang riba (persoalan ini akan dibicarakan secara rinci di bab lain) adalah untuk mengakhiri eksploitasi terhadap orang-orang yang tidak berdaya, dan bukan merupakan larangan total terhadap semua bentuk bunga. Konsep riba, menurut saya, juga harus termasuk keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari 'eksploitasi' tenaga kerja, atau keuntungan dari penanaman modal yang mengabaikan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat.
Al-Qur’an, di samping mendakwahkan cita-cita Islam, tidak pernah mengabaikan konteks situasinya dan, sebenarnya hal inilah yang menjadi rahasia keberhasilannya. Misalnya ia tidak mengambil pendekatan kelas dengan jelas, karena pendekatan itu hampir-hampir tidak akan berfungsi dalam situasi sejarah berikutnya. Al-Qur’an membenci perbudakan, tapi tidak segera menghapusnya begitu saja. Perbudakan bukan merupakan bagian integral dari sistem ekonomi di Mekkah. Meskipun begitu, perbudakan tetap menjadi masalah yang sangat penting. Terlepas dari dukungan biaya yang bisa diperoleh Nabi dari tokoh-tokoh penting di Mekkah dan Medinah, penghapusan perbudakan bisa menimbulkan masalah baru yang tak terpecahkan pada masa permulaan Islam.18 Nabi menempuh cara-cara gradual untuk menghapuskan perbudakan. Nabi juga memberikan hak-hak budak yang sebelumnya terabaikan. Namun, sayangnya konteks sejarah belum matang untuk pembebasan budak secara total, dan karenanya, alih-alih melemah, lembaga perbudakan malah semakin menguat setelah Nabi wafat. Setelah imperium Byzantium dan Persia berhasil ditaklukkan, Islam berubah menjadi feodal (feudalised) dan menjadi kekuatan yang eksploitatif yang terlembaga selama tiga dekade serta telah kehilangan elan pembebasannya. Para ahli hukum Islam berhadapan dengan situasi kesejarahan yang konkrit, melakukan kodifikasi hukum syari’ah di bawah pengaruh atmosfir tersebut, dan dengan demikian mereka juga kehilangan elan pembebasan Islam-awal. “Kerusakan berat” pada elan pembebasan dan progresivitas Islam ini telah ditimbulkan oleh para ahli teologi dan ahli hukum Islam dengan cara mengaburkan apa yang diperintah oleh batasan-batasan situasional. Generasi berikutnya mengikuti mereka secara tidak kritis dan dengan demikian terciptalah suatu tatanan syari’ah yang kaku dan tidak dapat diubah. Sementara itu, ulama masa kini--dengan semangat tidak kritis yang sama--menganggap hukum-hukum yang dirumuskan oleh ulama terdahulu sama dengan kebijaksanaan Ilahi dan mempunyai validitas abadi. Mereka juga mengabaikan fakta bahwa kebijaksanaan Ilahiyah bersifat transendental, melampaui batas-batas ruang dan waktu. Salah satu fungsi Tuhan yang essensial adalah rububiyyah yang didefinisikan oleh Imam Raghib Asfahani sebagai membimbing ciptaan-Nya melalui tahap-tahap evolusi yang berbeda ke arah kesempurnaan.19 Jika kebijaksanaan ilahiyah harus tetap berlaku, para ulama mestinya berupaya terus menerus untuk memecahkan ketegangan antara yang aktual dan yang mungkin, yang nyata dan yang ideal, yang sementara dan yang abadi. [1] bersambung
                                             


[1] diambil dari computer tanpa diketahui sumber dan penulisnya

Share this:

PENULIS

Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas

BERGABUNGDENGAN PERCAKAPAN

0 komentar:

Post a Comment

Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D