Membakar Diri Demi Dia
Salah satu tokoh
sufi terbesar, Fariduddin Attar, bercerita; Pada suatu malam, sekelompok laron
berkumpul bersama. Mereka bercerita tentang kerinduan yang menyiksa; keinginan
untuk bergabung dengan cahaya sebuah lilin. Semua berkata, “Kita harus temukan
seekor laron yang dapat menceritakan
lilin yang amat kita dambakan itu.”
Salah seekor laron lalu pergi ke
sebuah puri dan melihat seberkas cahaya lilin di dalamnya. Ia kembali dan
bercerita tentang apa yang ia telah lihat. Tapi seekor laron yang bijak,
pemimpin kelompok itu, hanya berkata, “Ia tak punya berita yang sesungguhnya
tentang lilin itu.” Seekor laron yang lain pergi menuju puri itu dan terbang
mendekati cahaya lilin, bergerak ke arahnya, dan menyentuh sedikit nyala api dengan
sayapnya. Setelah itu, ia kembali ke kelompoknya dan menjelaskan tentang
penyatuan dirinya dengan lilin itu. Tapi si laron bijak lalu berkata lagi,
“Penjelasanmu tak lebih berarti dari penjelasan laron sebelum kamu.”
Laron ketiga bangkit, dan melemparkan
dirinya ke arah nyala lilin. Ia mendorong dirinya ke depan lilin dan
mengarahkan sungutnya kepada api. Begitu seluruh tubuhnya dilalap api, tubuhnya
menjadi merah menyala seperti api itu sendiri. Si laron bijak memandang dari
kejauhan dan melihat bahwa lilin itu telah menerima seekor laron tadi sebagai
bagian dari dirinya dan memberikan kepada laron itu cahayanya. Si laron bijak
berkata, “Seekor laron itu telah mengetahui apa yang ia capai. Sesuatu yang
takkan diketahui laron-laron lainnya.”
Attar menutup kisah ini dengan
berkata: Sebenarnya, hanya orang yang telah meninggalkan pengetahuan akan
keberadaan dirinya, yang dapat memiliki pengetahuan akan eksistensi Sang
Tercinta. Selama kau masih memperdulikan jiwa dan ragamu, bagaimana kau mampu
mengenal Dia yang kau cinta?
Jibril Menyembah Tuhan
Syahdan, Tuhan
bertanya kepada Jibril, “Wahai Jibril, seandainya Aku menciptakan engkau
sebagai seorang manusia, bagaimana caranya engkau akan beribadah kepada-Ku?”
“Tuhanku,” jawab Jibril, “Engkau
mengetahui segalanya –segala sesuatu yang pernah terjadi, akan terjadi, atau
mungkin terjadi. Tak ada sesuatu pun di
langit dan di bumi yang tersembunyi dari-Mu. Engkau pun tahu bagaimana aku akan
menyembah-Mu.”
Allah bersabda, “Benar. Aku tentu
mengetahui hal itu. Tetapi hamba-hamba-Ku tidak mengetahuinya. Jadi, katakanlah
sehingga hamba-hamba-Ku dapat mendengar dan mengambil pelajaran darinya.”
Lalu Jibril pun berkata, “Tuhanku,
seandainya aku diciptakan sebagai manusia, aku akan menyembah-Mu dalam tiga
cara. Pertama, aku akan beri minum mereka yang kehausan. Kedua, aku
akan menutupi kesalahan-kesalahan orang lain ketimbang membicarakannya. Ketiga,
aku akan menolong mereka yang miskin.” Allah kemudian berfirman, “Karena
Aku tahu bahwa engkau akan melakukan hal-hal tersebut, maka Aku telah memilihmu
sebagai pembawa wahyu dan menyampaikannya kepada para nabi-Ku. “
Tutupilah aib orang lain, sehingga
aibmu pun disembunyikan. Maafkanlah dosa orang lain, agar dosamu juga diampuni.
Jangan singkapkan kesalahan orang lain, agar hal yang sama tidak terjadi
padamu.
Nabi Isa dan Dunia
Suatu saat, Nabi
Isa as berjumpa dengan seorang wanita tua yang berwajah amat buruk. “Akulah
dunia,” kata nenek tua buruk rupa itu. Isa as bertanya kepadanya, berapa orang
suami yang pernah ia punyai. “Tak terhitung jumlahnya,” ia menjawab.
“Apakah suami-suamimu meninggal atau
menceraikanmu?” Isa as bertanya lagi. “Tidak,” jawab nenek itu, “aku membunuh
mereka semua.”
Lalu Isa as berkata, “Aku tak bisa
mengerti. Mengapa masih saja ada orang yang tahu apa yang telah kau perbuat
kepada manusia, tetapi mereka masih tetap menginginkanmu....”
Menuai Tanaman Dunia
Seorang yang
dikenal amat kikir, suatu hari sedang duduk di pintu kedainya sambil menikmati
secangkir kopi. Seorang gila menghampirinya dan meminta sedikit uang untuk
membeli yoghurt. Pedagang kikir itu
berusaha mengacuhkannya tetapi si gila tetap tak mau pergi dan malah membuat
keramaian.
Orang-orang yang lewat dan melihat
hal itu lalu menawarinya uang. Tapi si gila bersikeras bahwa ia hanya
menginginkan uang dari si kikir. Akhirnya, si kikir memberinya sedikit uang
receh untuk membeli yoghurt. Si gila kemudian meminta tambahan uang untuk
membeli roti yang akan dimakannya bersama yoghurt itu. Pedagang kikir itu tentu
saja sudah tak bisa membiarkan hal ini, dan ia tegas-tegas menolaknya.
Malamnya, orang kikir itu bermimpi.
Dalam mimpinya, ia telah berjalan di dalam surga. Tempatnya sangatlah indah,
penuh dengan sungai, pepohonan, dan bunga-bungaan. Setelah beberapa saat
berjalan di sana, ia merasa lapar. Ia keheranan, di tengah semua keindahan
surga, ia tak melihat sedikit pun makanan.
Ketika itu, muncullah seorang pemuda
bewajah tampan bercahaya. Si kikir bertanya kepadanya, “Apakah ini benar-benar
surga?” Pemuda itu mengiyakan. “Lalu, di mana gerangan segala makanan dan
hidangan surga yang telah sering aku dengar itu?” tanya orang kikir itu lagi.
Pemuda tampan itu permisi sebentar.
Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa semangkuk yoghurt. Pedagang kikir
lalu meminta roti untuk dimakan bersama yoghurt tapi pemuda itu menjawab, “Yang
engkau kirimkan kemari hanyalah yoghurt ini saja. Seandainya engkau mengirimkan
roti, tentu sekarang aku dapat menyuguhkanmu roti juga. Yang engkau tuai di
sini adalah apa yang engkau tanam sewaktu di dunia.”
Si kikir terbangun dari mimpinya.
Peluh membasahi seluruh tubuhnya. Sejak saat itu ia menjadi salah seorang yang
paling pemurah di kotanya. Diberikannya makanan kepada setiap pengemis dan
orang miskin yang dijumpainya.
Ketika Ibrahim Menangis
Suatu hari,
seorang tokoh sufi besar, Ibrahim bin Adham, mencoba untuk memasuki sebuah
tempat pemandian umum. Penjaganya meminta uang untuk membayar karcis masuk.
Ibrahim menggeleng dan mengaku bahwa ia tak punya uang untuk membeli karcis
masuk. Penjaga pemandian lalu berkata,
“Jika engkau tidak punya uang, engkau tak boleh masuk.”
Ibrahim seketika menjerit dan
tersungkur ke atas tanah. Dari mulutnya terdengar ratapan-ratapan kesedihan.
Para pejalan yang lewat berhenti dan berusaha menghiburnya. Seseorang bahkan
menawarinya uang agar ia dapat masuk ke tempat pemandian.
Ibrahim menjawab, “Aku menangis
bukan karena ditolak masuk ke tempat pemandian ini. Ketika si penjaga meminta
ongkos untuk membayar karcis masuk, aku langsung teringat pada sesuatu yang
membuatku menangis. Jika aku tak diizinkan masuk ke pemandian dunia ini kecuali
jika aku membayar tiket masuknya, harapan apa yang bisa kumiliki agar diizinkan
memasuki surga? Apa yang akan terjadi padaku jika mereka menuntut: Amal salih
apa yang telah kau bawa? Apa yang telah kau kerjakan yang cukup berharga untuk
bisa dimasukkan ke surga? Sama ketika
aku diusir dari pemandian karena tak mampu membayar, aku tentu tak akan
diperbolehkan memasuki surga jika aku tak mempunyai amal salih apa pun. Itulah
sebabnya aku menangis dan meratap.” Dan orang-orang di sekitarnya yang
mendengar ucapan itu langsung terjatuh dan menangis bersama Ibrahim.
Kucing dan Daging Kambing
Rumi bercerita;
Alkisah, hiduplah seorang istri yang amat licik. Ia selalu menghabiskan setiap
makanan yang dibawa oleh suaminya pulang, dan berbohong tentang hal itu.
Suatu saat, suaminya pulang dengan
membawa daging kambing untuk dihidangkan kepada tamunya yang akan tiba. Suami
itu telah bekerja selama dua ratus hari untuk bisa membeli daging mahal
tersebut.
Ketika suaminya tidak di tempat,
istri yang rakus itu segera memotong daging dan memasaknya menjadi kebab
(sebuah hidangan khas Timur Tengah, -red.) Dan ia makan semua masakan itu,
diselingi dengan minum anggur.
Suaminya datang ke rumah bersama
tamu yang dijemputnya. “Daging itu dimakan kucing,” istrinya berbohong, “kalau
kau masih punya uang, belilah lagi.”
Sang suami lalu meminta pelayan
untuk membawakan timbangan dan kucing yang dituduh itu. Berat kucing itu adalah
tiga kilogram. “Daging kambing itu beratnya tiga kilogram dan satu ons,” ujar
suami itu sambil menggendong kucing, “kalau benda ini adalah kucing, lalu di
mana daging kambingnya? Kalau benda ini adalah daging kambing, lalu di mana
kucingnya? Carilah mana kucing itu, atau mana daging kambing itu!”
Rumi menutup cerita itu dengan
menulis: Jika kau memiliki raga, lalu di mana ruhnya? Jka kau memiliki ruh,
lalu di mana raganya?
Sumber: Essential Sufism, Penyunting: James Fadiman dan Robert Frager,
Castle Books, New Jersey, USA, 1998, Cinta Bagai Anggur; Uraian Hikmah Seorang Guru Sufi di
Amerika, karya Syaikh Muzaffer Ozak, Penerbit PICTS, Bandung, 2000, dan Essential
Rumi, terjemahan Coleman Barks, Castle Books, Jersey, USA, 1997
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D