Memahami Diri dalam Wacana Psikologi (11)
Phallus
tidaklah sama dengan penis. Penis adalah milik individu; Phallus milik struktur
bahasa itu sendiri. Tak seorang pun memilikinya, sebagaimana tak seorang pun
mengatur bahasa, malahan, Phallus adalah pusat. Phallus mengatur seluruh
struktur, itulah yang setiap orang inginkan untuk menjadi (atau memiliki),
tetapi tak seorang pun dapat memasukinya (tidak satu pun elemen dari sistem
dapat mengambil tempat di pusat). Itulah yang disebut Lacan sebagai hasrat:
hasrat, yang tidak pernah terpuaskan, karena ia tidak bisa dipuaskan, untuk
menjadi pusat, untuk mengatur sistem tersebut.
Lacan
mengatakan bahwa anak laki-laki dapat berpikir mereka mencoba menjadi Phallus,
menduduki posiss pusat tersebut, karena mereka memiliki penis. Anak perempuan
menemeui masa-masa sulit karena kesalahpemahaman (misperceive) diri mereka
sendiri ketika mencoba menjadi Phallus karena mereka (sebagaimana dikatakan
Freud) terbentuk oleh dan sebagai kekurangan, yaitu kekurangan akan penis, dan Phallus
merupakan tempat yang di dalamnya tak ada kekurangan. Tetapi, menurut Lacan,
setiap subjek dalam bahasa terbentuk oleh/sebagai kekurangan, atau Kekurangan.
Satu-satunya alasan kita merangkul bahasa juga adalah dikarenakan kehilangan,
atau kekurangan, akan penyatuan dengan tubuh maternal. Kenyataannya, adalah
kebutuhan untuk menjadi bagian dari “budaya”, untuk menjadi subjek dalam
bahasa, yang mendorong ketiadaan, kehilangan, kekurangan tersebut.
Perbedaan
antara seks (sexes) tersebut sangat signifikan dalam teori Lacan, walaupun
tidak dengan cara yang sama sebagaimana diuraikan dalam teori Freud. Inilah
yang Lacan bicarakan dalam esai “The Agency of the Letter in the Unconscious”
(lihat Ecrits). Dia menampilkan dua gambar dalam esai tersebut. Pertama adalah
kata “Pohon” di atas gambar sebuah pohon—konsep dasar Saussurian, tentang
petanda (konsep objek) atas penanda (kata). Kemudian dia menampilkan gambar
lainnya, tentang dua gambar yang identik. Tetapi di atas tiap pintu tersebut
terdapat kata yang berbeda: kata yang satu tertulis “Perempuan” dan yang
lainnya tertulis “Laki-laki”. Lacan menjelaskannya sebagai berikut:
Sebuah
kereta tiba di stasiun. Dua orang anak laki-laki dan anak perempuan, kakak
beradik, duduk di kompartemen berhadap-hadapan di samping jendela yang
melaluinya dapat terlihat bangunan di sepanjang stasiun yang dilaluinya ketika
kereta perlahan berhenti. “Lihat,” seru anak lai-laki, “Kita berada di bagian
Perempuan!” “Idiot, “ balas anak perempuan, “Tidakkah engkau dapat melihat
bahwa kita berada di bagian laki-laki.”
Anekdot
ini memperlihatkan bagaimana anak laki-laki dan perempuan tersebut memasuki
tatanan Simbolik, struktur bahasa, secara berbeda. Dalam pandangan Lacan,
setiap anak hanya dapat melihat penanda dari gender lainnya; setiap anak
mengkonstruksi pandangan-dunianya, pemahamannya akan relasi antara penanda dan
petanda dalam penamaan berbagai lokasi, sebagai konsekuensi menatap “liyan”.
Sebagaimana dinyatakan Lacan, “Bagi anak-anak ini, Lelaki dan Perempuan untuk
selanjutnya akan menjadi dua negeri yang kepadanya masing-masing jiwa mereka
akan berusaha keras di sayap berbeda…” Tiap anak, tiap jenis kelamin, memiliki
posisi khusus di dalam tatanan Simbolik; dari posisi tersebut, tiap jenis
kelamin hanya akan dapat melihat (atau menandakan) keliyanan dari jenis kelamin
lainnya. Anda bisa mengambil gambaran Lacan tentang dua pintu tersebut secara
harfiah: itulah pintu-pintu, dengan pembedaan gendernya, yang melaluinya tiap
anak harus lewati agar masuk ke dalam wilayah Simbolik. bersambung
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D