Memahami Diri dalam Wacana Psikologi (4)
Seperti
juga Freud, bayi menurut Lacan memulai sebagai sesuatu yang tak dapat
dipisahkan dari ibunya; tak ada perbedaan antara diri dan liyan (other), antara
bayi dan ibu (setidaknya, dari perspektif bayi). Kenyataannya, bayi (baik
menurut Freud maupun Lacan) merupakan sejenis gumpalan, tanpa pemahaman akan
diri atau identitas yang terindividuasi, dan bahkan tanpa pemahaman akan
tubuhnya sebagai satu kesatuan yang koheren. Gumpalan-bayi ini dikendalikan
oleh kebutuhan; ia butuh makanan, ia butuh kenyamanan maupun keamanan, ia butuh
untuk berubah, dan seterusnya.
Kebutuhan-kebutuhan
dapat dipuaskan, dan bisa terpuaskan oleh objek. Ketika bayi butuh makanan, ia
mendapatkan payudara (atau botol); ketika ia butuh keamanan, ia mendapatkan
pelukan. Bayi, dalam keadaan kebutuhan ini, tidak mengenali perbedaan apa pun
antara dirinya sendiri dan objek yang berhadapan dengan kebutuhannya; ia tidak
mengenali bahwa sebuah objek (seperti payudara) merupakan bagian dari oknum
utuh lainnya (karena ia belum lagi memiliki konsep apa pun tentang “person
utuh”). Tak ada perbedaan antara bayi dengan siapa pun atau apa pun yang
lainnya; hanya ada kebutuhan dan benda yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan
tersebut.
Inilah
keadaan “alami”, yang harus dipecahkan agar budaya terbentuk. Baik rumusan
psikoanalisis Freud dan Lacan menyatakan bahwa bayi harus berpisah dari ibunya,
membentuk identitas yang terpisah, agar bisa masuk ke dalam peradaban.
Pemisahan tersebut menyertakan semacam kehilangan; ketika bayi mengetahui
perbedaan antara dirinya dan ibunya, dan mulai menjadi makhluk yang
terindividuasi, bayi kehilangan rasa penyatuan primal (dan keamanan) yang
tadinya dia miliki. Inilah elemen ketragisan yang dibangun dalam teori
psikoanalisis (baik Freudian maupun Lacanian): menjadi seorang “dewasa” yang
beradab selalu menyertakan kehilangan besar akan penyatuan awal, suatu
non-diferensiasi, suatu penggabungan dengan yang lainnya (khususnya ibu).
Menurut
Lacan, bayi yang belum lagi membuat pemisahan ini—yang hanya memiliki
satu-satunya kebutuhan yang dapat dipuaskan, dan yang tidak membuat perbedaan
antara dirinya dengan objek yang memuaskan kebutuhannya—eksis di wilayah Yang
Real. Yang Real adalah tempat (suatu tempat psikis, bukan tempat fisikal) yang
disanalah terdapat penyatuan asal ini. Karena itulah, tak ada ketiadaan
(absence) atau kehilangan atau kekurangan; Yang Real adalah seluruh kepenuhan
dan kelengkapan, yang di dalamnya tak ada kebutuhan yang tidak dapat dipuaskan.
Dan karena tak ada ketiadaan atau kehilangan atau kekurangan, tak ada pula
bahasa dalam tahapan Yang Real.
bersambung
bersambung
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D