Lenin dan Trotsky dalam Revolusi Rusia
Dari
argumentasi John Rees berdasarkan kutipan dari Marx, kita melihat bahwa konsep
revolusi permanen tidak berasal dari Trotsky melainkan dari analisis Marx
sendiri, berdasarkan pengalaman revolusi tahun 1848.
Semenjak
peristiwa-peristiwa itu, umat manusia terus menyaksikan bahwa sistem kapitalis
selalu berkembang secara sangat tidak merata. Demokrasi parlementer dan
kemakmuran (relatif) buat kelas buruh di barat berjalan disamping penindasan
imperialis, kediktatoran dan kesengsaraan di banyak negeri lainnya. Para
kapitalis menanam modal mereka di negeri yang masih sedang berkembang seperti
Indonesia, dan investasi itu telah memunculkan kelas buruh secara luas, tetapi
di saat yang sama mereka menopang rezim-rezim represif.
Tapi
disamping fenomena perkembangan tidak merata, kita juga menyaksikan
fenomena perkembangan gabungan. Di tingkat global, kapitalisme sudah
mencapai produktivitas kerja yang begitu tinggi dan alat-alat produksi yang
begitu canggih sehingga secara obyektif sosialisme sudah mungkin diterapkan
secara internasional. Namun di saat yang sama, tidak sedikit negeri yang masih
hidup melarat -- dan bahkan di barat tidak sedikit buruh yang juga hidup
miskin. Dan unsur-unsur ilmu, tehnologi dan budaya dari barat masuk dunia
ketiga secara terus-menerus, seperti internet
misalnya.
Pada
awal abad XX sebuah perkembangan yang kontradiktif semacam ini makin marak
dalam kasus Rusia. Investasi dari luar menciptakan industri modern di beberapa
tempat, terutama di ibukota Petrograd dan kota Moskow. Bahkan beberapa pabrik
di sana lebih besar dan modern daripada banyak pabrik di barat, karena lebih
baru dibangun. Dan kelas buruh di Rusia sempat belajar Marxisme dari sumber
barat sehingga kaum buruh di Rusia tergolong yang paling sadar dan militan di
seluruh dunia. Namun di samping unsur-unsur modern ini ada juga unsur-unsur
feodal. Negara birokratik feodalis mencekik perekonomian dan masyarakat madani.
Tuan tanah masih kuat, dan yang lebih celaka lagi, banyak wiraswastawan
kapitalis harus meminjam modal dari tuan tanah sehingga bergantung kepada
mereka, di samping ketergantungan pada sumber modal asing. Makanya kelas buruh
yang agak modern dan sangat berpotensi untuk menghadapi kelas borjuis yang
lemah dan pengecut, seperti kaum borjuis Jerman yang dilukiskan oleh Marx dan
Engels pada tahun 1848.
Warga
Rusia kebanyakan petani. Mereka menginginkan tanah. Melalui reform agraria yang
seharusnya menjadi tujuan klasik dari revolusi borjuis-demokratik. Namun
borjuasi sendiri tidak bisa diandalkan untuk melakukan reform semacam itu,
karena justeru bergantung pada tuan-tuan tanah sebagai sumber modal.
Hampir
semua orang sosialis di Rusia mengembangkan strategi tahapan, bahwa Rusia masih
feodal dan belum membangun sistem kapitalis, oleh karena itu revolusi yang
mereka cita-citakan harus menjadi revolusi demokratis bukan sosialis. Tetapi
terdapat banyak perbedaan pendapat tentang strategi persis yang harus dijalankan.
Kelompok Menshevik cenderung menyerahkan peran pemimpin dalam revolusi kepada
pihak borjuis. Kelompok Bolsehvik mengajukan pendekatan yang lebih radikal:
bahwa revolusi borjuis-demokratis tidak bisa dipimpin oleh borjuasi sendiri
karena kelas kapitalis di Rusia terlalu lemah dan pengecut. Menurut mereka,
kelas-kelas tertindaslah yang harus melakukan revolusi. Sehingga Lenin
menajukan slogan: "diktatur demokratis-revolusioner kaum proletariat dan
kaum tani" dan kedua kelas itu jelas akan menerapkan reformasi yang sangat
luas (seperti "reformasi total" di Indonesia sekarang ini). Walaupun
begitu, menurut Lenin revolusi yang radikal ini masih akan tetap bertahan dalam
batasan kapitalis dan akan membuka jalan untuk perkembangan kapitalisme bertahun-tahun.
Dalam
tulisannya "Dua Taktik Sosial-Demokrasi di dalam Revolusi Demokratik"
Lenin mengutuk sebagai "reaksioner" segala upaya untuk "mencari
keselamatan kelas buruh selain melewati perkembangan lebih lanjut dari
kapitalisme." Menurut dia (waktu itu) "Kaum Marxis yakin sekali bahwa
revolusi Rusia harus bersifat borjuis. Artinya apa? Bahwa tuntutan-tuntutan
demokratik implikasinya tidak merongrong kapitalisme atau merongrong kekuasaan
borjuis; sebaliknya, mereka akan untuk pertama kalinya memberi jalan bagi borjuasi
untuk ... menjadi kelas penguasa."
Tak
pelak lagi bahwa yang dimaksudkan di sini adalah tahapan historis yang cukup
panjang. Lenin tidak mengharapkan revolusi sosialis di Rusia sebelum terjadi
perkembangan kapitalis yang luas.
Kedua
pendekatan ini memusatkan perhatian terutama kepada perkembangan kapitalisme di
dalam Rusia, di mana mode produksi kapitalis memang belum matang (secara
keseluruhan). Hanya Trotsky yang mendesakkan cakrawala berpikir secara lebih
luas dan yang betul-betul menyimak keadaan Rusia dalam konteks internasional.
Berdasarkan pengalaman konkrit dalam revolusi tahun 1905 (di mana Trotsky
muncul sebagai ketua dewan buruh di ibukota dan pemimpin terkemuka kelas buruh)
dia melihat bahwa kelas buruh di Rusia sudah sangat maju organisasi dan
kesadarannya karena dampak pertumbuhan industri (yang didorong oleh investasi
asing) dan dampak teori Marxisme (yang juga berasal dari luar negeri).
Sedangkan kelas borjuis sangat lemah dan pengecut (juga karena faktor
internasional, yaitu mereka sangat bergantung pada modal asing). Sehingga kaum
buruh dengan dukungan kaum tani memang harus merebut kekuasaan sendiri melalui
jalan revolusi, seperti dikatakan Lenin. Tetapi setelah kelas buruh mulai
berkuasa mereka tidak mungkin bisa merasa puas dengan reformasi yang masih
dalam kerangka kapitalis, melainkan mereka pasti akan mengadakan perubahan yang
mengarah ke sosialisme.
Apakah
sosialisme itu bisa dibangun dalam sebuah negeri seperti Rusia, yang industri
dan tatatan sosialnya masih separuh feodal? Menurut Trosky memang bisa, tapi
dengan satu syarat yang sangatlah penting: revolusi harus meluas ke
negeri-negeri barat supaya kelas buruh di barat bisa menolong kaum buruh Rusia
untuk menjalankan sosialisme.
Persilihan
antara para anggota Menshevik, Bolshevik dan Trotsky bertahan sampai di awal
revolusi tahun 1917. Pada bulan Februari sebuah pemberontakan kelas buruh
menjatuhkan Tsar dan menyalakan krisis politik yang menonjolkan beberapa sifat
yang mirip dengan situasi di Indonesia saat ini. Yaitu kepala negara
ditumbangkan, tetapi disusul oleh sebuah pemerintahan yang masih reaksioner
walau berpura-pura demokratis. Setelah tumbangnya Tsar, ketiga teori tentang
jalannya revolusi teruji dalam praktek. Kelompok Menshevik terus mengajukan
strategi tahapan, bahwa kaum borjuislah yang harus memimpin revolusi. Sehingga
mereka bersedia untuk mentolerir keberadaan pemerintahan transisi, walau dengan
menuntut dilangsungkannya pemilu dan beberapa reform.
Sikap
kelompok Bolshevik ternyata hampir sama. Saat itu Lenin belum kembali dari
pengasingan, dan partai Bolshevik dipimpin oleh orang lain seperti Stalin.
Mereka juga terus mempertahankan strategi tahapan, dengan menganggap revolusi
yang tengah berjalan adalah revolusi demokratis saja. Sehingga para pimpinan
Bolshevik itu mulai merenungkan apakah harus bersatu dengan partai Menshevik.
Pada
bulan April Lenin akhirnya berhasil pulang ke Petrograd. Dan golongan Bolshevik
sangat terperangah mendengar pendapatnya tentang apa yang harus dilakukan. Dalam
beberapa surat dari luar negeri ("Surat-surat dari Jauh") Lenin sudah
mendesak agar kelas buruh harus mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan.
Setibanya di Rusia, Lenin disambut oleh para pemimpan Bolsehevik setempat tidak
hanya dengan salam hangat, tetapi juga dengan kerisauan yang besar. Para
pemimpin Bolsehvik itu tampil berbicara dengan mengucapkan selamat datang,
kemudian segera memperingatkan bahwa revolusi di Rusia adalah revolusi
demokratis saja. Lenin saat itu sedang berdiri di atas sebuah balkon. Lenin
tidak membalas komentar mereka sama sekali, malahan dia berpaling kepada massa
buruh dan prajurit-prajurit yang berdiri di halaman di luar gedung, dan segera
melontarkan argumentasi bahwa mereka harus mempersiapkan diri untuk mengambil
alih kekuasaan dengan slogan "Semua kekuasaan kepada soviet (dewan-dewan
buruh)".
Karena
argumentasinya, Lenin dituduh menjadi "Trotskis". Tetapi secara
lambat-laun dia berhasil meyakinkan para kader Bolshevik. Begitu Trotsky
sendiri balik ke Petrograd, dia segera diundang untuk bergabung dalam partai
Bolsehvik. Dan kedua tokoh terkenal itu bersekutu erat dalam sebuah revolusi
yang betul-betul menempuh jalan sosialis.
Argumentasi
Lenin itu dirumuskan secara ringkas dalam "Tesis-tesis April" yang
menjadi sebuah dokumen historis dalam sejarah revolusi. Tulisan pendek ini
merupakan pembetulan yang penting terhadap argumentasi lama yang dimuat dalam
"Dua Taktik". Walau Lenin masih memakai istilah "tahap
pertama" dan "tahap kedua", implikasinya jauh berbeda:
Sifat utama situasi Rusia saat ini
adalah bahwa negara ini sedang beralih dari tahapan pertama revolusi -- yang,
disebabkan oleh kurangnya kesadaran-kelas dan organisasi kaum proletariat,
telah menempatkan kekuasaan di tangan kaum borjuis -- menuju tahapannya yang kedua,
yang harus menempatkan kekuasaan di tangan kaum proletariat dan
golongan-golongan termiskin kaum tani.
Revolusi
memang sedang melalui dua tahapan, tetapi peralihannya ke tahapan sosialis
sudah mulai dalam kurun waktu beberapa bulan. Tahap demokratis tidak lagi
dianggap berkaitan dengan tahap panjang kapitalis yang tak terhindari.
Sebaliknya, tahap demokratis ini hanya terpisah dari tahap sosialis karena
"kurangnya kesadaran-kelas dan organisasi kaum proletariat" - yang
sebagian besar tentunya disebabkan oleh kesalahan kaum revolusioner dengan
strategi "dua taktik" mereka. Inilah yang memungkinkan para liberal
borjuis untuk mengambil alih kekuasaan. Seandainya Partai Bolshevik memiliki
strategi yang lebih tepat, akibat buruk itu bisa dihindari.
Lenin
menegaskan pendapatnya ini dengan amat jelas. Dalam sebuah diskusi dia bertanya
kepada para Bolshevik: "Kenapa kalian tidak merebut kekuasaan [pada bulan
Februari]?" Ketika mereka menjawab dengan rumusan tradisional mengenai
""tahap pertama ... tahap demokratis", Lenin membalas dengan
ketus: "Ini omong kosong. Sebabnya karena proletariat masih kurang sadar
dan kurang terorganisir. Itu harus kita akui. Kekuataan materiil sudah berada
di tangan proletariaat saat itu, tetapi borjuasilah yang sudah sadar dan siap.
Itu kenyataan yang mengerikan. Fakta ini harus kita akui secara tulus, dan kita
mesti menjelaskan kepada rakyat dengan terus-terang bahwa kita tidak merebut
kekusaan karena tak terorganisir dan tak sadar."
Yang
harus diperjuangkan "bukanlah sebuah republik parlementer -- untuk kembali
dari soviet-soviet (dewan-dewan buruh) ke sebuah republik parlementer akan
merupakan sebuah langkah mundur yang buruk -- melainkan sebuah republik
Soviet..." dan ini memang menjadi semboyan utama Partai Bolshevik menjelang
Oktober.[1]
[1] Tulisan
ini, dan baian-bagian yang akan datang diadopsi dari artikel yang tidak
diketahui sumbernya dan penulisnya..
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D