Teori Revolusi Permanen
Dalam
krisis politik di Indonesia selama 4-5 tahun ini telah bermuncul
perdebatan-perdebatan yang luas dan kaya tentang strategi dan taktik mana yang
bisa memajukan perjuangan rakyat untuk melawan penindasan dan penghisapan. Di
antaranya kita sering memperdebatkan masalah revolusi; apakah sebuah revolusi
diperlukan, dan apakah sifat-sifat revolusi tersebut. Konsep yang paling umum
di kalangan revolusioner adalah strategi "revolusi demokratik" yang
dianggap harus mendahului revolusi sosialis, kadang-kadang dengan referensi
tulisan Lenin "Dua Taktik Sosial-Demokrasi Dalam Revolusi
Demokratik".
Kami
sudah menyinggung masalah ini dalam teks "Dua Taktik Atau Strategi
Sosialis Revolusioner" dan dalam beberapa tulisan lain, tetapi belum
secara menyeluruh. Sekarang kita kembali ke topik tersebut dengan argumentasi
lebih lanjut. Teks ini akan mengulangi beberapa rumusan yang sudah dimuat dalam
bahan lain, dengan konteks yang sedikit berbeda.
Pandangan
Marx tentang perkembangan revolusioner
Setiap
perkembangan sosial harus melalui berbagai tahapan. Sosialisme hanya mungkin
berdasarkan produktivas kerja yang tinggi, dan produktivitas tinggi tersebut
adalah sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi secara dahsyat yang dijalankan
oleh kapitalisme. Selain itu, kapitalisme menimbulkan kelas buruh, serta
menerapkan demokrasi parlementer dan menciptakan kondisi di mana kelas buruh
itu bisa berorganisir dan berjuang. Sehingga di tingkat global, umat manusia
jelas harus melewati tahap kapitalis (yang sekaligus merupakan tahap demokratis-borjuis)
sebelum masyarakat sosialis dapat tercapai.
Dalam
karya Marx kita sering mendapati asumsi bahwa revolusi sosialis harus didahului
oleh revolusi borjuis, yang juga disebut sebagai revolusi demokratik. Bukan
karena sosialisme tidak demokratik. Sebaliknya, sistem sosialis akan membawa
demokrasi ke semua pelosok masyarakat, terutama ke tempat kerja. Namun di masa
Marx, penguasaan kelas borjuis memang untuk pertama kalinya menimbulkan
demokrasi (walau secara terbatas). Di negeri seperti Inggeris dan Perancis
demokrasi tersebut membuka jalan untuk perkembangan gerakan buruh.
Seperti
dijelaskan oleh John Rees:
Sebelum pecahnya revolusi 1848, Marx dan Engels telah
jelas dalam dua hal. Yang pertama, bahwa revolusi yang akan datang adalah
revolusi borjuis yang akan bermuara pada suatu negara kapitalis, dengan harapan
negara itu akan mengambil bentuk dari sebuah republik demokratis. Yang kedua,
bahwa kaum borjuasi harus didorong kepada suatu penyelesaian yang menentukan
dengan sistem yang lama, karena pertumbuhan kekuatan dari kelas pekerja membuat
mereka takut bahwa mengobarkan kekuatan yang penuh dari revolusi akan menyapu
mereka ke pinggir bersama-sama dengan negara feodal. Untuk Marx dan Engels,
revolusi di Jerman akan "dilaksanakan di bawah kondisi peradaban Eropa
yang jauh lebih maju, dan dengan lebih banyak jumlah proletariat yang sudah
berkembang, daripada di Inggeris pada abad ke tujuh belas, dan Perancis pada
abad ke delapan belas" dan oleh karena itu akan menjadi "pembukaan
kepada revolusi proletariat yang akan menyusul sebentar lagi."
Dengan demikian di dalam tahap awal revolusi, Marx dan
Engels berjuang sebagai sayap yang paling kiri dari revolusi demokratik. Tetapi
Manifesto Komunis, yang ditulis sebelum pecahnya revolusi, sudah menyerukan bahwa
walaupun kelas buruh harus "berjuang dengan kaum borjuis, selama mereka
bertindak dalam cara yang revolusioner" kaum sosialis harus juga
"menanamkan kepada kelas buruh pengenalan sejelas-jelasnya mengenai
pertentangan yang antagonistik antara borjuasi dan proletariat".
Pendekatan Marx dan Engels pada saat permulaan revolusi adalah "untuk
memacu kaum borjuis dari basis kiri yang independen, mengorganisir kelas bawah
terpisah dari kaum borjuis untuk menyerang secara serempak rezim yang lama, dan
untuk menyiapkan blok proletariat, borjuis kecil dan petani yang demokratis ini
untuk melangkah secara sementara ke dalam barisan pelopor, apabila kaum borjuis
memberikan tanda-tanda ketakutannya, dengan analogi pemerintahan Jacobin di
Perancis pada tahun 1793-4."
Pendek kata: Marx dan Engels mengharapkan revolusi
borjuis-demokratik, sekaligus yang sama memperingatkan kaum buruh agar mereka
mengambil sikap independen dari kelas borjuis. Sikap mereka itu berubah secara
berarti ketika revolusi 1848 berkembang.
Selama tiga bulan pertama dari revolusi Jerman, kelihatan
seakan-akan kaum borjuis, walaupun kurang mantap, dapat didorong ke dalam
tindakan yang menentukan. Tetapi semakin lama revolusi berlangsung, kaum
borjuis menjadi semakin takut dan lumpuh. Pada hari-hari bulan Juni semua kelas
pengeksploitir, termasuk kaum borjuis dan sebagian besar dari juru bicara
mereka yang demokratis, berbaris di pihak yang reaksioner. Marx dan Engels
berkesimpulan bahwa hanya kelas yang dieksploitasi, kaum pekerja dan petani,
yang dapat mendorong revolusi ke depan. Seperti yang Marx tulis dalam surat
kabarnya, "Rheinische Zeitung", yang mana para pendukung borjuisnya
meninggalkannya, karena pendiriannya yang radikal:
"Kaum borjuasi Jerman berkembang dengan begitu
melempem, sangat kecut hati, dan sangat lamban, sehingga merasa semakin
terancam konfrontasi oleh kaum proletariat, dan segala bagian dari masyarakat
kota yang berhubungan dengan proletariat..., sementara dirinya sedang mengancam
konfrontasi dengan feodalisme dan absolutisme...Kaum borjuasi Prussia adalah
bukan, seperti kaum borjuasi Perancis di tahun 1789, sebuah kelas yang mewakili
keseluruhan dari masyarakat modern...Ia telah tenggelam ke dalam tingkatan
semacam kelas yang egois dan sempit (estate)...yang dari permulaan cenderung
mengkhianati rakyat..."
Dihadapkan dengan pengkhianatan kaum borjuis yang jauh
lebih besar dari yang mula-mula diperkirakan, Marx dan Engels merubah analisis
strategis mereka. Marx dan Engels sekarang berkesimpulan bahwa aksi yang
independen dari kelas pekerja, dan sebuah pendirian yang lebih kritis mengenai
isu-isu taktis dan juga teori, terhadap kaum borjuasi demokrat, adalah
essensial. Penjelasan Marx mengenai sikap para pekerja kepada para demokrat
adalah benar-benar relevan dengan situasi sekarang di Indonesia, sehingga perlu
untuk dikutip secara penuh:
Para pekerja "harus mendorong usulan-usulan dari
para demokrat kepada logika ekstrem mereka (kaum demokrat akan, dalam segala
hal, bertindak dengan cara yang reformis dan tidak revolusioner) dan merubah
usulan-usulan tersebut menjadi sebuah serangan langsung kepada hak milik
pribadi. Kalau, sebagai misal, kaum borjuasi kecil mengusulkan pembelian
perusahaan kereta api dan pabrik-pabrik, kaum pekerja harus menuntut agar
perusahaan kereta api dan pabrik-pabrik ini secara langsung disita saja tanpa
konpensasi sebagai milik dari kaum reaksioner. Kalau para demokrat mengusulkan
sebuah pajak proporsional, maka para pekerja harus menuntut sebuah pajak
progresif; kalau para demokrat mengusulkan suatu pajak progresif yang moderat,
maka para pekerja harus menuntut sebuah pajak yang mana tarifnya begitu tinggi
sehingga kapital yang besar akan hancur karenanya; kalau para demokrat menuntut
adanya pengaturan dari hutang-hutang negara, maka para pekerja harus menuntut
penghapusan hutang-hutang nasional. Tuntutan kaum pekerja, dengan demikian
harus meradikalisasi ukuran dan konsesi dari kaum demokrat."
Marx dan Engels tidak lagi puas dengan revolusi
borjuis-demokratik. Mereka sudah mengajukan strategi transisional, yang
mendorong revolusi demokratik beralih ke arah revolusi sosialis:
"Kaum pekerja Jerman...harus memberikan kontribusi
sepenuhnya untuk kemenangan akhir mereka sendiri, dengan memperjelas apa
kepentingan kelas mereka, dengan mengambil posisi politik mereka yang
independen secepatnya, dengan tidak membiarkan diri mereka tersesat oleh
omongan munafik kaum demokrat borjuis kecil yang dapat membuat mereka meragukan
pentingnya organisasi partai yang independen dari kaum proletariat.
Semboyan-tempur mereka haruslah: Revolusi Permanen." (Bahasa Jermannya:
Die Revolution in Permanenz.) [1]
[1] Tulisan
ini, dan baian-bagian yang akan datang diadopsi dari artikel yang tidak
diketahui sumbernya dan penulisnya..
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
Dalam kacamata marx,konsep perlawan adalah respon dari kejenuhan akan kondisi ekonomo yg terpuruk
ReplyDeleteTulisan yg menarik untuk pengembangan wacana gerakan
ReplyDelete