Revolusi permanen dalam konteks Indonesia modern
Dewasi
ini para penganut strategi tahapan di Indonesia bukanlah stalinis. Mereka
adalah kawan-kawan revolusioner yang bersungguh-sungguh ingin memperjuangkan
nasib rakyat dan kelas buruh. Tetapi sudah saatnya untuk meninjau kembali
masalah-masalah strategis ini dan meninggalkan strategi tahapan yang telah
menyebakan sejumlah kekalahan yang mengerikan.
Setiap
proses revolusioner jelas berbeda, dan setiap revolusi akan melalui sejumlah
tahapan. Pertanyaan yang kontroversial di sini adalah: apakah selalu harus ada
dua tahapan yang tetap dan terpisah, atau sebuah proses berkesinambungan yang
berkembang secara terus-menerus.
Pendapat
bahwa setiap revolusi di dunia ketiga harus melalui dua tahapan yang tetap,
sering berdasarkan wawasan bahwa perkembangan kapitalisme tidak merata.
Negeri-negeri barat ekonominya serta sistem politiknya relatif maju, sedangkan
ekonomi di Indonesia (umpamannya) masih melarat dan sistem politiknya korup.
Perkembangan kapitalis memang tidak merata. Namun seperti diungkapkan oleh
Trotsky dalam konteks Rusia masa lampau, wawasan tentang perkembangan tidak
merata itu harus dilengkapi dengan konsep *perkembangan gabungan*. Menurut
Trotsky:
Para makhluk hidup, tentu saja
termasuk manusia, melalui tahapan-tahapan yang serupa sesuai dengan usia
mereka. Untuk seorang anak normal yang berusia 5 tahun kita temukan sebuah
korespondensi yang pasti antara berat badan, ukuran, dan organ-organ dalam.
Tetapi sama sekali lain dengan kesadaran manusia. Berlawanan dengan anatomi dan
fisiologi, psikologi -- baik individual ataupun kolektif-- dibedakan oleh
kapasitas penyerapan yang luar biasa, fleksibilitas dan elastisitas ... Psyche
yang absortif dan fleksibel ini menganugerahkan atas para "organisma"
sosial (lain daripada organisma nyata, yaitu biologis) sebuah variabilitas
struktur internal yang luar biasa, sebagai prasyarat yang diperlukan bagi
kemajuan sejarah. Dalam perkembangan bangsa-bangsa dan negara-negara, terutama
yang kapitalis, tidak ada kesamaan maupun keteraturan. Tahapan peradaban yang
berbeda, bahkan sama sekali berlawanan, saling mendekat dan bercampur baur
dalam kehidupan bangsa dan negara yang sama.
Jangan kita lupakan bahwa
keterbelakangan historis adalah sebuah konsep relatif. Di mana terdapat negara-negara
yang terbelakang dan juga negara-negara yang progresif, terdapat pula saling
mempengaruhi antara yang satu dengan lainnya; ada tekanan dari negara-negara
progresif terhadap negara-negara terbelakang, ada kebutuhan bagi negara-negara
terbelakang untuk menjajari negara-negara progresif, untuk meminjam pengetahuan
dan teknologi mereka, dan lain-lainnya. Dalam cara ini muncullah tipe gabungan
dari perkembangan: ciri-ciri keterbelakangan digabung dengan kata terakhir
dalam teknik dan pemikiran dunia. Akhirnya negara-negara yang secara historis
terbelakang, supaya lepas dari keterbelakangannya, seringkali terpaksa
mendahului negara lain.
Walau
ekonomi Indonesia pada umumnya melarat (di barat mana ada orang yang harus
bekerja sebagai tukang becak), namun ada juga unsur-unsur yang modern: pesawat
terbang, TV satelit, internet. Kedua fenomena ini bercampur baur pula: bukankah
kita menyaksikan becak-becak di jalanan di depan warung internet, pedagang kaki
lima di depan bandara? Walau demokrasi di Indonesia hanya bersifat demokrasi
semu, namun setidaknya aspirasi demokratik dipegang oleh ratusan ribu warga
Indonesia yang berani turun ke jalan untuk memperjuangkan demokrasi riil.
Sedangkan di Amerika Serikat kemarin-kemarin ini, kita saksikan kepasifan para
pemilih di depan gagalnya demokrasi dalam pemilihan presiden. Walau kelas buruh
Indonesia masih lemah organisasi dan kesadarannya, namun perjuangan kaum buruh
itu cukup eksplosif, sedangkan perjuangan buruh di barat seringkali berlangsung
dalam jalur tradisional yang didominasi oleh kaum pejabat serikat buruh yang
konservatif.
Kapitalisme
di Indonesia masih lemah. Fakta ini mengakibatkan konsekuensi negatif tetapi
juga positif. Jika disimak dari segi internasional, Indonesia merupakan mata
yang terlemah dalam rangkaian kapitalis. Menurut Lenin, dalam kasus revolusi
Rusia, "rantai putus pada sambungannya yang terlemah." Itu bisa
terjadi di Indonesia pula.
Jadi
tidaklah benar bahwa masyarakat Indonesia kurang "matang" untuk
memperjuangkan sosialisme dibandingkan dengan masyarakat barat. Kedua tipe
masyarakat itu bersifat kontradiktif. Kontradiksi di dalam masyarakat Indonesia
sudah menghasilkan sebuah gerakan mahasiswa yang menggoncangkan rezim Orde
Baru. Kontradiksi itu juga membuka peluang untuk memasukkan unsur-unsur
sosialis di dalam perjuangan rakyat. Namun sayangnya pendekatan kebanyakan kaum
kiri Indonesia, yang ngotot pada konsep "revolusi demokratik dulu",
cenderung menghalangi penyuntikan tersebut.
Perbedaan
pendapat antara (misalnya) Suara Sosialis dan PRD mengenai rangka teoretis
untuk dunia ketiga pada umumnya. Logika teori dua tahapan yang diajukan oleh
banyak kawan di Indonesia kira-kira sebagai berikut:
1.
Kita berada dalam sebuah negeri yang belum demokratik, karena tugas-tugas
revolusi borjuis belum diselesaikan.
2.
Sebelum tugas-tugas itu diselesaikan, kelas buruh belum bisa memperjuangkan
sosialisme, karena militer masih terlalu kuat dsb.
3.
Maka kita harus membatasi kegiatan kita dalam rangka perjuangan demokratik.
Begitu demokrasi tercapai, militer tidak lagi menjadi masalah. Dus menurut
makalah kawan Wilson dari PRD di seminar di Solo pada bulan April 1999 (dikutip
dari versi tulisan): "Ada beberapa hal yang positif bagi ABRI/TNI bila Dwi
Fungsi dicabut, yaitu ... ABRI/TNI tidak lagi akan berhadapan dengan rakyatnya
sendiri karena ia mengabdi pada golongan atau kekuasaan tertentu." [2]
Implikasinya, militer bisa bersikap netral dalam konflik sosial di bawah sistem
kapitalis.
4.
Jadi kita akan cenderung mendukung para politikus borjuis-demokratik seperti
Gus Dur. Itu sebabnya Ketua PRD, Budiman Sudjatmiko, pernah bilang: "Waktu
ketemu Gus Dur, saya mengatakan mendukung pemerintahan Gus Dur". Menurut
dia, Gus Dur dan Mega "merupakan pemerintah legitimate karena terpilih
secara lebih demokratis". [3]
Artinya,
kaum penganut stategi dua tahapan selalu dalam bahaya kompromi dengan para
"reformis gadungan" bahkan dengan militer. (Bukan hanya PRD. Sebelum
Lenin kembali ke Rusia pada bulan April 1917, kelompok Bolsyevik cenderung
mendukung pemerintahan transisi dan mulai merenungkan apakah harus bersatu
dengan kelompok Mensyevik.) Yang berpegang pada fakta bahwa kaum "reformis
gadungan" adalah musuh bisa dituduh sebagai seorang "Trotskyis",
seperti Lenin waktu itu, dan kawan Muhammad Ma'ruf baru-baru ini. [4] Untunglah
Lenin berhasil meyakinkan para kader Bolsyevik bahwa mereka harus menempuh
jalan "revolusi tak terinterupsi" yang dalam praktek kurang-lebih
sama dengen pendekatan Trotsky. Dan Lenin mengajak Trotsky bersatu dengan
partai Bolsyevik.
Pada
hemat kami:
1.
Kita berada dalam masyarakat kapitalis. Masyarakat itu memang tidak demokratik,
karena kapitalisme hanya menyajikan demokrasi semu. Tumbangnya Suharto memang
harus diperjuangkan, tetapi itu tidak cukup untuk menyelesaikan tugas-tugas demokrasi.
2.
Demokrasi ala barat memang merupakan cara penindasan yang lebih halus, tetapi
penindasan yang halus itu juga tidak mungkin di dunia ketiga, karena dunia
ketiga tertindas oleh imperialisme. Militer bisa saja duduk di barak selama
kekuasaan kaum borjuis tidak terancam, tapi militer itu akan segera bertindak
jika perjuangan rakyat terlalu efektif -- itu sudah kita saksikan di Chile pada
tahun 1973. Sekarang ini, militer Australia sedang diberikan kewenangan untuk
memeriksa warga-warga dalam kasus sipil tertentu.
3.
Jadi tidak ada gunanya mengharapkan suatu "revolusi demokratik" di
dalam sistem kapitalis. Perubahan-perubahan demokratik yang mungkin dalam
rangka kapitalisme kebanyakan sudah terjadi pada tahun 1998-1999. Yang
beruntung terutama kaum "reformis gadungan". Tentu saja kita belum
mampu melakukan revolusi sosialis, maka kita harus bertolak dari perjuangan
demokratik dan normatif yang ada, tapi kita harus berusaha memasukkan
unsur-unsur sosialis ke dalam propaganda kita.
4.
Sehingga kita tidak boleh mendukung pemerintahan borjuis Gus Dur. Kita memang
harus membela demokrasi (semu) yang ada, karena di dalam ruang gerak itu kita
bisa berjuang dengan lebih efektif. Jadi, kalau militer mau melakukan kudeta,
jelas kita melawan kudeta tersebut. Seperti kaum Bolsyevik melawan kudeta
Kornilov di tahun 1917. Tetapi tanpa dukungan apapun terhadap Gus Dur sebagai
politikus. Dan tanpa memberikan "legitimasi" kepada dia.
Tampaknya
golongan-golangan kiri di Indonesia masih menonjolkan prasangka-prasangka buruk
terhadap tradisi Trotskyis dan rumusan-rumusan "revolusi permanen".
Maka tidak perlu kita ngotot pada istilah-istilah tertentu. Mari kita gunakan
istilah "revolusi tak terinterupsi" jika terminologi Lenin bisa lebih
diterima. Pokoknya, revolusi kita tidak boleh terinterupsi dengan suatu tahapan
"demokratik" yang hanya menguntungkan kaum borjuis.
Argumentasi
ini tidak ada sangkut-pautnya dengan ketidaksabaran, atau mentalitas
ultra-kiri. Strategi kami bisa saja diterapkan dengan cara-cara sabar dan
taktik-taktik halus. Tentu saja kita tidak bisa melakukan revolusi apa-apa
dalam jangka pendek; yang penting bagi kaum kiri adalah mengembangkan suatu
*orientasi teoretis yang tepat*. Tanpa orientasi yang benar, kaum kiri tidak
bisa membangun suatu gerakan revolusioner yang efektif.[1]
[1] Tulisan
ini, dan baian-bagian yang akan datang diadopsi dari artikel yang tidak
diketahui sumbernya dan penulisnya..
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D