Konsep Pemerintahan Ideal: Religius atau Non-religius
Perdebatan seputar konsep
pemerintahan ideal telah menguras banyak energy para pemikir. Berbagai
pandangan dan ide berserakan di lembaran-lembaran kertas sebagai hasil
perenungan yang mereka tawarankan. Tak jarang kita temukan konsep yang berbeda dan
perdebatan mengenai pemerintahan. Apakah dalam mengola suatu masyarakat dalam
kenegaraan membutuhkan konsep pemerintahan religious ataukah tidak? Tentunya,
pembahasan mengenai konsep pemerintahan ideal bukanlah pembahasan yang muda,
butuh refrensi dan waktu untuk menyayikan hal tersebut. Tapi, dalam tulisan
ini, para pembaca akan menemukan satu ulasan menegnai konsep pemerintahan religious
dalam pandangan Mula Sadra secara umum.
Para penganut pemerintahan
nonreligius (sekuler), tidak memiliki kesepakatan yang jelas mengani konsep
pemerintahan yang ideal. Berbagai macam bentuk pemerintahan telah mereka
tawarkan tapi semua bentuk tersebut mengarah pada satu konsep pemerintahan
yaitu pemerintahan nonreligius. Ada tiga argumentasi yang mereka paparkan untuk
menolak pemerintahan religius yaitu:
1.
Agama tidak memiliki kemampuan dalam membuat hokum yang
mencakup segenap praktek-praktek social manusia.
2. Agama merupakan
sesuatu yang tetap (permanen) sementara kondisi social selalu dinamis; oleh
karenanya agama yang tetap (permanen) tidak akan mampu menjawab kehidupan
politis dan social manusia yang selalu dinamis.
3.
Perbedaan pemahaman antara pemeluk agama tentang
teks-teks agama, maka agama tidak memiliki authority yang jelas dalam
masalah-masalah social politik.
Ketuga dalil tersebut telah dibantah
oleh penganut pemerintahan religious. Pada dalil pertama yaitu ketidak mampuan
agama untuk menyajikan pedoman praktis yang bersifat partikelar dan jelas untuk
tindakan-tindakan social manusia. Kelompok ini dengan menyuguhkan argumentasi
yang membuktikan bahwa agama Islam seperti halnya semua system social dan
moral, telah mempersembahkan prinsip-prinsip serta kaidah-kaidah yang mengatur
tindakan-tindakan yang bersifat individual.
Adapun dalil kedua, mereka
berkeyakinan bahwa agama Islam juga mengandung dua bentuk ajaran; pertama,
hokum dan ajaran yang bersifat permanen yang menjelaskan hakekat-hakekat yang
pasti dan kokoh. Prinsip-prinsip akidah dan masalah-masalah yang berhubungan
dengan pandangan dunia Islam seperti keyakinan akan Tuhan, ma’ad, kenabian dan
sejenisnya. Kedua, hokum-hukum dan undang-undang yang bisa berubah sesuai dengan
kondisi waktu, hokum-hukum fiqh tergolong kepada bagian ini. Prinsip ijtihad
yang dalam madzhab syiah selalu terbuka yang mengambil peran sebagai penjelas
hokum-hukum fiqh Islam yang sesuai dengan kondisi setiap jaman.
Untuk masalah ketidak jelasan penafsiran
agama dan pemahaman yang berbeda-beda para pemeluknya tentang teks-teks agama
juga telah menjadap jawaban yang detail dimana untuk masuk kepada kajian
tersebut membutuhkan kajian yang lebih luas lagi. Segala global keberadaan
seorang pemimpin dan system ijtihad, secara historis, menunjukan bahwa “ketidak
qathian” merupakan sesuatu yang tidak terbukti sehingga bisa merusak kehidupan
social manusia. Bahkan hal ini selalu berjalan sejalan dengan kondisi jaman dan
tempat. Selain itu keselarasan yang terbangun dalam pemerintahan Islami
sehingga tidak lagi ada kerancuan seperti itu.
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D