Teologi: Kalam Tuhan 2
Pada bagian sebelumnya kita sudah membahas paham Aliran Hambali yang
mengatakan bahwa kalam Allah itu bersifat qadim. Pada bagian ini, kita akan
membahas paham aliran Karamiyah dan Asy’airah.
2.
Aliran Karamiyah
Aliran Karamiyah meyakini
bahwa kalam Ilahi terdiri dari suara dan huruf-huruf, dan kalam Ilahi itu
bersifat hadis dan menyatu dengan zat Allah Swt, dan mereka mengatakan bahwa
tidak ada masalah menggandengkan sifat hadis pada yang zat yang qadim.[1]
Allamah Hilli
mengomentari pendapat Karamiyah sebagai berikut, "Wajib al-Wujud (Allah
Swt) tidak menerima sifat yang hadis (yang baru) dengan tiga dalil:
pertama, ke-hadis-an dan ke-baru-an pada zat Allah menyebabkan perubahan
yang bersifat reaktif dalam diri-Nya dimana hal ini sangat berkontradiksi
dengan zat Wajib al-Wujud, karena setiap perubahan itu merupakan sifat bagi
benda-materi dan Allah bukanlah materi dan benda. Kedua, jika Allah Swt
dipandang sebagai sebab dari sifat yang hadis ini, maka sifat yang hadis itu
pun harus azali, karena sebabnya adalah azali, sementara anda mengatakan bahwa
hadis tersebut adalah sesuatu yang baru terwujud (yakni pernah tiada dan
sekarang menjadi ada), dan jika zat sebab itu bukan zat Wajib al-Wujud maka
kemestiannya adalah bahwa dia memiliki sifat hadis dan membutuhkan kepada
sesuatu yang lain, dan hal ini juga tidak layak bagi Wajib al-Wujud. Ketiga,
hadis itu jika termasuk sifat kamaliyah (sifat kesempurnaan) maka mustahil
sifat tersebut tidak termasuk dalam jajaran sifat-sifat Tuhan, karena Tuhan
niscaya memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan apabila hadis itu merupakan
sifat cacat dan kekurangan maka mustahil Tuhan memiliki sifat tersebut.[2]
3.
Akidah Asy’ariah
Kaum Asy’ariah
meyakini bahwa kalam itu adalah qadim dan menyatu dengan zat Allah. Abu
al-Hasan al-Asy'ary berkata, "Allah berbicara dengan kalam, dan
kalam-Nya itu bersifat qadim, karena raja memiliki kekuasaan pada rakyat, dan
penguasa senantiasa memerintah dan melarang rakyatnya, maka dia adalah
penguasa. Penguasa apakah memerintahkan sesuatu yang qadim atau memerintahakan
sesuatu yang hadis. Jika hadis maka apakah dia akan menyatu dan eksis pada zat
Allah itu sendiri? Hadis mustahil menyatu dan eksis pada zat Allah karena akan
menyebabkan zat Allah sebagai wadah bagi hadirnya sesuatu yang baru. Dan hal
ini pasti mustahil. Demikian pula, mustahil kalam itu menyatu dan eksis pada
wadah yang lain, karena akan menyebabkan wadah tersebut memiliki sifat kalam
dan akan disebut sebagai mutakkalim. Demikian pula, mustahil eksis pada wadah
selain zat Allah, oleh karena itu kalam Allah itu bersifat qadim dan eksis pada
zat Allah serta menjadi sifat Allah."[3]
Kemudian Abu
al-Hasan al-Asy'ary melanjutkan, "Kalam Allah tidak lebih dari satu dengan
ibarat yang beraneka ragam yang diberi nama perintah, larangan, berita, janji
dan ancaman. Kesemuanya itu tidak lebih dari satu hakikat. Muatan dan kandungan
kalam Ilahi yang azali dan malaikat menyampaikannya kepada para nabi dengan
indikasi-indikasi, alamat, dan tanda-tanda kalam, namun bukan kalam Allah yang
azali. Indikasi, alamat, dan tanda adalah makhluk dan hadis, akan tetapi isi,
makna, dan kandungan kalam Ilahi yang bersifat qadim dan azali. Perbedaan
antara bacaan dan yang dibaca, menelaah dan yang ditelaah seperti perbedaan
antara ingatan dan yang diingat, zikir atau ingatan adalah hadis akan tetapi
yang diingat itu adalah qadim."[4]
Syahrestany setelah
menukil ungkapan tersebut menjelaskan akidah Asy’ariah dalam masalah kalam
Ilahi sebagai berikut, "Kalam dalam pandangan Asy’ariah adalah maknanya
yang menyatu dan eksis pada jiwa sang mutakallim, tetapi tidak menyatu
dengan lafas dan ibarat. Ibarat adalah indikaasi-indikasi dari kalam manusia.
Oleh karena itu, mutakallim adalah seseorang yang menyatu kalam dan eksis pada
dirinya. Hal ini berbeda dengan Muktazilah mengatakan bahwa mutakallim adalah
orang yang mencipta kalam dan lahir dari dirinya. Menurut Asy’ariah penggunaan
kalam pada ibarat adalah heteronim atau bersifat majazi."[5]
Oleh karena itu,
dalam akidah Asy’ariah kalam itu akan terwujud secara berangsur-angsur dan
hadis dalam bentuk ibarat dan lafaz. Ibarat dan lafaz itu tidak menyatu dengan
zat Allah dan tidak bisa dikatakan hakikat kalam Allah, tetapi mereka meyakini
bahwa kalam hakiki Allah adalah makna dari kata-kata yang dilafazkan yang
bersifat qadim dan menyatu serta eksis pada zat Allah Swt. Dalam menjelaskan
makna kalam nafsi mereka mengatakan sebagai berikut, "Mutakallim
sebelum berbicara pada saat yang sama ada dalam pikirannya makna
kata-kata yang kemudian akan diiucapkan dan kalam yang dilafazkan itulah
yang akan mengindikasikannya, mutakallim dengan melafazkan kata-kata bermaksud
memberitahukan makna yang ada dalam pikirannya dan menyampaikan kepada para
pendengar, makna yang ada dalam pikiran pembicara inilah yang disebut dengan
kalam nafsi.
Dikatakan bahwa, "Kalam nafsi tidak lebih dari satu hakikat yang terwujud
dalam bahasa yang beraneka ragam dan bahkan bisa hadir dalam bentuk tulisan dan
isyarah."
Dikatakan bahwa,
"Kalam nafsi bukan ilmu karena manusia terkadang menyampaikan
sesuatu padahal dia tidak memiliki pengetahuan terhadap hal tersebut, dan
terkadang menyampaikan sesuatu yang kenyataannya bertentangan dengan apa yang
disampaikan. Kalam nafsi bukan iradah karena manusia terkadang
memerintahkan sesuatu padahal dia tidak menginginkan hal tersebut terjadi akan
tetapi tujuannya adalah menguji orang yang diperintah. Oleh karena itu,
kalam nafsi tidak termasuk kategori ilmu dan iradah, akan tetapi sesuatu
yang lain yang terkait dengan obyeknya dimana terbagi dalam bentuk perintah dan
larangan, berita, pertanyaan, dan panggilan."
Dikatakan bahwa,
"Hakikat kalam adalah kalam nafsi itu sendiri yang qadim dan eksis
pada zat Allah, oleh sebab itu Allah disebut Mutakallim."[6]
Akan tetapi,
Muktazilah dan Imamiah menganggap bahwa kalam nafsi ini adalah sesuatu
yang tidak masuk akal dan tidak benar. Mereka mengatakan sebagai berikut,
"Kalam hakiki dalam pandangan umum masyarakat adalah suara dan huruf yang
dilafazkan yang tercipta dengan perantaraan mutakallim dan bukan maknanya, dan
untuk membuktikan hal yang sangat penting ini dengan bersandar kepada perkataan
seorang penyair adalah bukan hal yang bersifat ilmiah, kedua eksistensi makna
kata yang ada dalam pikiran mutakallim bisa diterima, akan tetapi hanya sebagai
sebuah konsepsi dan pembenaran, mutakallim ketika berbicara akan menggambarkan
makna lafaz tersebut dan berdasarkan makna yang ada dalam pikirannya dia
berbicara. Menggambarkan suatu konsep terkadang dibarengi dengan pembenaran (tashdiq),
tetapi terkadang juga tidak. Dalam masalah yang dia tidak yakini akan tetapi
dia memberikannya, maka dia akan menggambarkan kata-kata tersebut tetapi tidak
membenarkannya. Dalam masalah ujian dan cobaan juga akan menggambarkan
kata-kata dan maknanya, ada keinginan untuk menyampaikan kata-kata tersebut
walaupun tidak menginginkan untuk terlaksananya perbuatan yang diperintahkan
itu, singkat kata, kalam nafsi itu tidak ada, yang ada hanyalah
konsepsi, pembenaran, dan iradah."[7]
(bersambung)
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
Izin share
ReplyDeleteMenarik
ReplyDelete