Hello

Welcome To My Blog

MISBAHUDDIN HASAN
Semoga Tulisan di Blog ini Bermanfaat Bagi Anda

Recent

Teologi: Kalam Tuhan 2

Pada bagian sebelumnya kita sudah membahas paham Aliran Hambali yang mengatakan bahwa kalam Allah itu bersifat qadim. Pada bagian ini, kita akan membahas paham aliran Karamiyah dan Asy’airah.

2. Aliran Karamiyah
Aliran Karamiyah meyakini bahwa kalam Ilahi terdiri dari suara dan huruf-huruf, dan kalam Ilahi itu bersifat hadis dan menyatu dengan zat Allah Swt, dan mereka mengatakan bahwa tidak ada masalah menggandengkan sifat hadis pada yang zat yang qadim.[1]
Allamah Hilli mengomentari pendapat Karamiyah sebagai berikut, "Wajib al-Wujud (Allah Swt) tidak menerima sifat yang hadis (yang baru) dengan tiga  dalil: pertama, ke-hadis-an dan ke-baru-an pada zat Allah  menyebabkan perubahan yang bersifat reaktif dalam diri-Nya dimana hal ini sangat berkontradiksi dengan zat Wajib al-Wujud, karena setiap perubahan itu merupakan sifat bagi benda-materi dan Allah bukanlah materi dan benda. Kedua, jika Allah Swt dipandang sebagai sebab dari sifat yang hadis ini, maka sifat yang hadis itu pun harus azali, karena sebabnya adalah azali, sementara anda mengatakan bahwa hadis tersebut adalah sesuatu yang baru terwujud (yakni pernah tiada dan sekarang menjadi ada), dan jika zat sebab itu bukan zat Wajib al-Wujud maka kemestiannya adalah bahwa dia memiliki sifat hadis dan membutuhkan kepada sesuatu yang lain, dan hal ini juga tidak layak bagi Wajib al-Wujud. Ketiga, hadis itu jika termasuk sifat kamaliyah (sifat kesempurnaan) maka mustahil sifat tersebut tidak termasuk dalam jajaran sifat-sifat Tuhan, karena Tuhan niscaya memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan apabila hadis itu merupakan sifat cacat dan kekurangan maka mustahil Tuhan memiliki sifat tersebut.[2]

3. Akidah Asy’ariah
Kaum Asy’ariah meyakini bahwa kalam itu adalah qadim dan menyatu dengan zat Allah. Abu al-Hasan al-Asy'ary berkata, "Allah  berbicara dengan kalam, dan kalam-Nya itu bersifat qadim, karena raja memiliki kekuasaan pada rakyat, dan penguasa senantiasa memerintah dan melarang rakyatnya, maka dia adalah penguasa. Penguasa apakah memerintahkan sesuatu yang qadim atau memerintahakan sesuatu yang hadis. Jika hadis maka apakah dia akan menyatu dan eksis pada zat Allah itu sendiri? Hadis mustahil menyatu dan eksis pada zat Allah karena akan menyebabkan zat Allah sebagai wadah bagi hadirnya sesuatu yang baru. Dan hal ini pasti mustahil. Demikian pula, mustahil kalam itu menyatu dan eksis pada wadah yang lain, karena akan menyebabkan wadah tersebut memiliki sifat kalam dan akan disebut sebagai mutakkalim. Demikian pula, mustahil eksis pada wadah selain zat Allah, oleh karena itu kalam Allah itu bersifat qadim dan eksis pada zat Allah serta menjadi sifat Allah."[3]
Kemudian Abu al-Hasan al-Asy'ary melanjutkan, "Kalam Allah tidak lebih dari satu dengan ibarat yang beraneka ragam yang diberi nama perintah, larangan, berita, janji dan ancaman. Kesemuanya itu tidak lebih dari satu hakikat. Muatan dan kandungan kalam Ilahi yang azali dan malaikat menyampaikannya kepada para nabi dengan indikasi-indikasi, alamat, dan tanda-tanda kalam, namun bukan kalam Allah yang azali. Indikasi, alamat, dan tanda adalah makhluk dan hadis, akan tetapi isi, makna, dan kandungan kalam Ilahi yang bersifat qadim dan azali. Perbedaan antara bacaan dan yang dibaca, menelaah dan yang ditelaah seperti perbedaan antara ingatan dan yang diingat, zikir atau ingatan adalah hadis akan tetapi yang diingat itu adalah qadim."[4]
Syahrestany setelah menukil ungkapan tersebut menjelaskan akidah Asy’ariah dalam masalah kalam Ilahi sebagai berikut, "Kalam dalam pandangan Asy’ariah adalah maknanya yang menyatu dan eksis pada jiwa sang mutakallim, tetapi tidak menyatu dengan lafas dan ibarat. Ibarat adalah indikaasi-indikasi dari kalam manusia. Oleh karena itu, mutakallim adalah seseorang yang menyatu kalam dan eksis pada dirinya. Hal ini berbeda dengan Muktazilah mengatakan bahwa mutakallim adalah orang yang mencipta kalam dan lahir dari dirinya. Menurut Asy’ariah penggunaan kalam pada ibarat adalah heteronim atau bersifat majazi."[5]
Oleh karena itu, dalam akidah Asy’ariah kalam itu akan terwujud secara berangsur-angsur dan hadis dalam bentuk ibarat dan lafaz. Ibarat dan lafaz itu tidak menyatu dengan zat Allah dan tidak bisa dikatakan hakikat kalam Allah, tetapi mereka meyakini bahwa kalam hakiki Allah adalah makna dari kata-kata yang dilafazkan yang bersifat qadim dan menyatu serta eksis pada zat Allah Swt. Dalam menjelaskan makna kalam nafsi mereka mengatakan sebagai berikut, "Mutakallim sebelum berbicara pada saat yang sama ada dalam pikirannya makna kata-kata  yang kemudian akan diiucapkan dan kalam yang dilafazkan itulah yang akan mengindikasikannya, mutakallim dengan melafazkan kata-kata bermaksud memberitahukan makna yang ada dalam pikirannya dan menyampaikan kepada para pendengar, makna yang ada dalam pikiran pembicara inilah yang disebut dengan kalam nafsi.
Dikatakan bahwa, "Kalam nafsi tidak lebih dari satu hakikat yang terwujud dalam bahasa yang beraneka ragam dan bahkan bisa hadir dalam bentuk tulisan dan isyarah."
Dikatakan bahwa, "Kalam nafsi bukan ilmu karena manusia terkadang menyampaikan sesuatu padahal dia tidak memiliki pengetahuan terhadap hal tersebut, dan terkadang menyampaikan sesuatu yang kenyataannya bertentangan dengan apa yang disampaikan. Kalam nafsi bukan iradah karena manusia terkadang memerintahkan sesuatu padahal dia tidak menginginkan hal tersebut terjadi akan tetapi tujuannya adalah menguji orang yang diperintah. Oleh karena itu, kalam nafsi tidak termasuk kategori ilmu dan iradah, akan tetapi sesuatu yang lain yang terkait dengan obyeknya dimana terbagi dalam bentuk perintah dan larangan, berita, pertanyaan, dan panggilan."
Dikatakan bahwa, "Hakikat kalam adalah kalam nafsi itu sendiri yang qadim dan eksis pada zat Allah, oleh sebab itu Allah disebut Mutakallim."[6]
Akan tetapi, Muktazilah dan Imamiah menganggap bahwa kalam nafsi ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak benar. Mereka mengatakan sebagai berikut, "Kalam hakiki dalam pandangan umum masyarakat adalah suara dan huruf yang dilafazkan yang tercipta dengan perantaraan mutakallim dan bukan maknanya, dan untuk membuktikan hal yang sangat penting ini dengan bersandar kepada perkataan seorang penyair adalah bukan hal yang bersifat ilmiah, kedua eksistensi makna kata yang ada dalam pikiran mutakallim bisa diterima, akan tetapi hanya sebagai sebuah konsepsi dan pembenaran, mutakallim ketika berbicara akan menggambarkan makna lafaz tersebut dan berdasarkan makna yang ada dalam pikirannya dia berbicara. Menggambarkan suatu konsep terkadang dibarengi dengan pembenaran (tashdiq), tetapi terkadang juga tidak. Dalam masalah yang dia tidak yakini akan tetapi dia memberikannya, maka dia akan menggambarkan kata-kata tersebut tetapi tidak membenarkannya. Dalam masalah ujian dan cobaan juga akan menggambarkan kata-kata dan maknanya, ada keinginan untuk menyampaikan kata-kata tersebut walaupun tidak menginginkan untuk terlaksananya perbuatan yang diperintahkan itu, singkat kata, kalam nafsi itu tidak ada, yang ada hanyalah konsepsi, pembenaran, dan iradah."[7] (bersambung)



[1] Ibid.
[2] Kasy al-muraad fi syarh tajrid al i'tiqad, hal. 228
[3] Al- milal wa al-Nihal, jilid 1, hal. 95
[4] Ibid, hal. 96.
[5] Ibid.
[6] Syarh al-Mawaqif, jilid 8, hal. 93, Sywariq al-Ilham, hal. 414 &555, Lama'at al-Ilahiyyat, hal. 441, Kasyf al-Murad, hal. 224
[7] Shirat al-Haq, jilid 1, hal. 298, Lama'at al-Ilahiyyat, hal. 441

Share this:

PENULIS

Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas

JOIN CONVERSATION

2 komentar:

Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D