Posmodernisme
Gejala
posmodernisme sebagai fenomena kebudayaan mulai menampakkan wajahnya yang khas
kira-kira sejak akhir 1950-an dan awal 1960-an. Di masa-masa ini rupanya dunia
telah berkembang sedemikian jauh melampaui masa-masa sebelumnya yang ditandai
dengan berbagai perubahan radikal baik dalam lapangan kemasyarakatan, kesenian,
kebudayaan, kesusasteraan, dan dunia arsitektural (Fredric Jameson, 1999: 1-3).
Dalam bidang kesenian, misalnya. Muncul penolakan estetis dan ideologis
terhadap gerakan seni modern, seperti: penolakan terhadap ekspresionisme
abstrak dalam lukisan. Dalam kesusasteraan, muncul penolakan atas keyakinan
adanya representasi final dalam novel dan juga atas aliran puisi modernis
sebagaimana yang dikanonisasikan dalam karya Wallace Stevens. Sementara itu
dalam pemikiran dan filsafat muncul penolakan atau kritik terhadap
eksistensialisme, dan juga ditandai oleh lahirnya sejumlah mode pemikiran yang
menyebut gejala-gejala “krisis” atau “kematian”, seperti “kematian ideologi”,
“kematian seni”, “kematian kelas sosial”, atau “krisis Leninisme”, “krisis
demokrasi sosial”, “krisis negara kesejahteraan” dan seterusnya.
Bersamaan
dengan padamnya corak gerakan budaya modern tersebut, lalu muncul bentuk-bentuk
ekspresi wajah budaya baru yang coraknya tampak lebih heterogen, empiris dan chaotic.
Misalnya dalam seni populer, terdapat photorealisme; dalam musik ada sintesis
style-style klasik dan populer seperti dalam karya-karya Phil Glass dan Terry
Riley; ada budaya punk; ada gelombang baru musik rok, seperti the Beatles dan
the Stones; sementara dalam film ada sinema dan video eksperimental dan juga
tipe baru film-film komersial lainnya.
Selain
itu ada juga gejala lain yang menunjukkan perubahan yang sangat jelas dan
dramatis, yakni dalam dunia arsitektur. Bahkan bagi Jameson, perubahan dalam
dunia arsitekturlah awal munculnya perdebatan seputar konsepsi posmodernisme
ini. Jameson membedakan apa yang disebut dengan bentuk arsitektur modernisme
tinggi (high modernisme) dan arsitektur posmodernisme. Menurut Jameson,
gaya arsitektural modernisme tinggi telah merusak karya cipta model kota-kota
tradisional dan kultur lingkungan lama dan menggantinya dengan model bangunan
tinggi dan menjulang yang secara sosial berkesan angkuh, elitis, terpisah dengan
konteks lingkungan sekitarnya, dan tampak otoritarian. Sementara posisi
arsitektur posmodern mengritik model semacam ini. Estetika posmodern bersifat
lebih populis karena hilangnya batas-batas antara budaya tinggi (high
culture) dan budaya massa (mass/popular culture). Populisme ini
bukan hanya tampak dalam estetika arsitektural, melainkan juga dalam bentuk
budaya massa atau barang budaya komersial yang diproduksi secara massal dalam
suatu industri budaya dan dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat.
Singkatnya,
posmodernisme pada umumnya ditandai oleh sebuah gejala baru yang disebut dengan
“populisme estetis”, yang memungkinkan munculnya berbagai artefak budaya yang biasa dikonsumsi secara massal.
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
Izin share bang
ReplyDelete