Bukti negatif: tragedi revolusi Cina tahun 1920-an.
Sejak
wafatnya Lenin inti pelajarannya terlupakan. Hal itu berkaitan dengan nasib
revolusi di Rusia, yang tidak berhasil meluas ke negeri-negeri yang lain, walau
rezim Bolshevik serta partai-partai Komunis di Eropa barat memang melakukan
banyak upaya ke arah itu. Sebagai akibatnya, rezim itu mengalami sebuah
degenerasi yang parah, dan kekuasaan demokratis kelas buruh diganti dengan
sebuah diktatur birokratis yang dipimpin oleh Stalin. Rezim Stalin pada
gilirannya meninggalkan orientasi internasionalis Lenin dan Trotsky, dan
partai-partai Komunis di mancanegara dijadikan alat pasif kebijakan luar negeri
rezim Soviet. Sifat utama kebijakan luar negeri itu adalah untuk mencari
aliansi dengan negara-negara lain -- dengan rezim-rezim borjuis.
Maka
Stalin menghidupkan kembali strategi tahapan, namun dengan alasan baru:
partai-partai Komunis disuruh bersekutu dengan golongan borjuis tertentu (yang
dianggap lebih "demokratis" atau "progresif") demi
kepentingan negara Soviet itu. Strategi lama Lenin itu dimanfa'atkan Stalin
untuk membenarkan pendekatan yang sama sekali tidak revolusioner. Marxisme dan
Leninisme telah diganti dengan "Stalinisme" kontra-revolusioner. Dan
karena citra negara Rusia dan gerakan Komunis saat itu masih sangat tinggi,
teori-teori stalinis sayangnya juga sangat berpengaruh pada orang lain yang
bukan kontra-revolusioner.
Akibatnya
tragis. Tahun 1927 terjadi pemberontakan kelas buruh di Cina, dan kaum buruh
bersenjata di bawah pimpinan Komunis berhasil merebut seluruh kota Shanghai
dari tangan golongan reaksioner. Tetapi mereka segera disuruh menyerahkan
kekuasaan mereka kepada pihak nasionalis (borjuis), dengan argumentasi
"tahap demokratis dulu". Begitu mereka menyerahkan senjata-senjata
kepada pemimpin nasionalis Ciang Kai-shek, kesatuan-kesatuan Komunis diserang
dan dibantai oleh pasukan nasionalis.
Hal
yang mirip juga terjadi di Spanyol pada tahun 1930-an, di Indonesia tahun 1965,
dan di beberapa tempat lain. (Lihat tulisan Tony Cliff, "Revolusi dan
Kontrarevolusi".)
Revolusi
permanen yang "terbelok"
Peristiwa
tahun 1920-an di Cina mengkonfirmasikan kebenaran argumentasi Trotskys waktu
itu. Akan tetapi, revolusi tahun 1949 juga melontarkan sejumlah masalah baru
yang rumit. Teori Trotsky (seperti pandangan semua kaum Marxis sebelum Perang
Dunia II) berdasarkan asumi bahwa kapitalisme tidak lagi mengandung potensi
untuk berkembang. Jika kelas buruh tidak berhasil menumbangkan sistem
kapitalis, umat manusia tidak bisa mengharapkan banyak kemajuan lagi. Di barat,
ekonomi kapitalis akan terus tersesat. Di dunia ketiga, kemerdekaan nasional
untuk rakyat-rakyat tertindas tidak bisa tercapai, masalah-masalah reform agraria
tidak bisa dipecahkan, dan pada umumnya tugas-tugas revolusi borjuis-demokratik
tidak bisa dilaksanakan. Ramalan-ramalan ini jelas terbukti salah.
Di
Cina, sebuah revolusi memang terjadi, tapi jangankan dipimpin kaum buruh,
revolusi itu malah terjadi tanpa partisipasi kelas buruh. Reform-reform agraria
memang terjadi, dan Cina menjadi merdeka. Revolusi Indonesia juga bisa
melaksanakan sebagian dari apa yang biasanya dianggap revolusi borjuis
demokratik. Tapi revolusi-revolusi semacam ini di dunia ketiga juga tidak
dipimpin oleh kelas borjuis, melainkan oleh unsur-unsur dari kelas menengah
seperti kaum intelektual, perwira-perwira militer, dan lain sebagainya.
Revolusi
Indonesia tidak dipimpin oleh kaum kapitalis, juga tidak dipimpin oleh kelas
buruh, melainkan oleh kaum terpelajar elit dan militer. Di masa paska revolusi,
pemerintahan berada di tangan klik-klik politikus bourjuis-kecil yang korup,
dan pemerintahan saat itu kurang stabil karena kelas kapitalis Indonesia
terlalu lemah. Strategi ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk
membangun perusahaan-perusahaan pribumi yang tangguh (seperti program
"Benteng") hanya dipermainkan oleh faksi-faksi sempit di Jakarta guna
memperkaya diri sendiri. Akhirnya Soekarno memutuskan untuk menghilangkan demokrasi
parlementer serta menggunakan aparatus negara untuk mendorong akumulasi modal.
Perusahaan-perusahaan asing diambil alih, dan di bawah sistem "Demokrasi
Terpimpin" para perwira militer ikut mengelola perusahaan-perusahaan
tersebut. Partai-partai yang paling berasosiasi dengan pasar bebas dan para
pedagang pribumi (PSI dan Masyumi) dilarang, dan Soekarno mengembar-gemborkan
"Sosialisme ala Indonesia". Sebetulnya "sosialisme" itu
hanya semacam kapitalisme-negara.
(Meski
begitu, PKI cenderung mendukung Soekarno dan menaruh harapan pada Soekarno.
Karena PKI, berdasarkan strategi "revolusi demokratik", menganut
front persatuan bersama unsur-unsur borjuis yang dikira progresif. Akibatnya,
militer semakin kuat dan PKI kehilangan independensinya. Ketika militer
menyerang pada tahun 1965, PKI seperti lumpuh dan dihancurkan.)
Kapitalisme
memang lemah di dunia ketiga, sehingga kelompok-kelompok elit borjuis-kecil
suka menggunakan aparatus negara dan meminjam anasir-anasir dari sistem
perencanaan ekonomi Soviet demi kepentingan pembangunan nasional. Mereka juga
suka memakai retorika sosialis -- dan ini tampaknya logis, bukankah Uni Soviet
itu memang dikira "sosialis"? Di hadapan fenomena-fenomena ini,
mayoritas kaum pendukung Trotsky mengambil kesimpulan menjelang tahun 1950,
bahwa revolusi di Cina dan Vietnam merupakan semacam "revolusi
permanen" walau dipimpin oleh orang-orang non-trotskyis -- bahkan
stalinis.
Tony
Cliff putus dengan pendekatan "ortodoks-trotskyis" itu dan merumuskan
analisis baru, yang disebutnya "deflected permanent revolution".
Intinya adalah, selama kelas buruh sendiri belum memiliki kesadaran
revolusioner dan belum membangung partai-partai revolusioner berbasis massa,
revolusi-revolusi anti-imperialis tidak bisa mencapai sosialisme. Tentu saja
kita harus mendukung semua perjuangan anti-imperialis, namun kita juga harus
membedakan antara revolusi nasional (seperti misalnya di Indonesia tahun
1940-an) yang mungkin menggunakan retorika sosialis, dengan revolusi sosialis
yang sebenarnya.[1]
[1] Tulisan
ini, dan baian-bagian yang akan datang diadopsi dari artikel yang tidak
diketahui sumbernya dan penulisnya..
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D