Metode "transisional" dalam perjuangan revolusioner
Bagaimana
unsur-unsur sosialis bisa disuntikkan ke dalam perjuangan demokratik dan
normatif?
Pertanyaan
ini penting, karena di Indonesia saat ini, kita memang menghadapi sebuah dilema.
Dari satu sisi, Indonesia sudah menjadi masyarakat kapitalis, dan telah
terjerumus ke dalam krisis ekonomi yang khas kapitalis, sehingga secara
obyektif sudah siap untuk revolusi sosialis. Seharusnya kita tidak puas lagi
dengan tuntutan minimal tentang demokrasi liberal atau kenaikan upah. Namun di
sisi lain, faktor subyektif sangatlah lemah. Kelas buruh dan rakyat pada
umumnya takut akan istilah "sosialis" (sekaligus tidak mengerti apa
itu sosialisme sebenarnya) dan gerakan revolusioner masih kecil, sehingga untuk
mendengungkan slogan-slogan maksimal seperti "Sosialisme sekarang
juga" tidak efektif. Kita harus mencari sebuah "jembatan" antara
kedua kubu ini, dengan tuntutan-tuntutan transisional antara yang minimal dan
yang maksimal.
Dalam
revolusi di Rusia tahun 1917, kaum Bolshevik juga menaikkan slogan-slogan
seperti "Peace, bread and land" -- "Perdamaian [artinya: perang
harus segera diselesaikan], pangan, tanah". Sebuah tuntutan yang sangat
konkrit dan bisa masuk akal setiap buruh atau petani, karena mereka sangat
menderita dalam perang, sangat lapar, dan kaum tani sangat memerlukan tanah.
Tetapi pemerintah borjuis tidak bisa memenuhi tuntutan tersebut.
Di
tahun 1930-an Trotsky merumuskan Program Transisional, yang memang tidak
sempurna -- dan para pengikut Trotsky kadang-kadang memakai program itu dengan
terlalu dogmatis. Tetapi prinsipnya bagus. Sekali lagi kita mulai dari
kepentingan konkrit massa rakyat, sekaligus mencari, dalam kepentingan itu,
unsur-unsur yang dari satu segi tampaknya sangat logis untuk semua orang --
tetapi dari segi yang lain tidak akan dan tidak bisa dipenuhi oleh sistem
kapitalis. Kita berjuang bersama massa untuk tuntutan itu. Mereka tidak mulai
memperjuangkan tuntutan tersebut karena mau menuju ke sosialisme. Mungkin
mereka belum setuju dengan sosialisme atau tidak tahu-menahu. Mereka berjuang
demi kepentingan yang di depan mata. Tetapi dari awal kita menjelaskan, bahwa
hanya dengan sosialisme tuntutan itu dapat tercapai. Dan dalam perjuangan
bersama, kita mendiskusikan hal ini berulang-ulang, sampai mereka melihat dari
pengalaman praktis bahwa cita-cita mereka tidak akan dipenuhi oleh Habibie
ataupun Megawati, dan hanya bisa tercapai dengan revolusi sosialis.
John
Rees sudah memberikan satu contoh dari slogan-slogan yang bisa dimajukan dalam
konteks Indonesia:
Sebagai contoh, "Cabut Dwifungsi
ABRI" harus selalu dikombinasikan dengan slogan "Potong anggaran
militer, beri makan yang lapar". Slogan yang kedua tetap menjadi sebuah
"tuntutan yang demokratik" dalam beberapa hal, tetapi ia juga
menaikkan isu-isu yang spesifik terhadap kelas pekerja dan mengkombinasikan
mereka dengan suatu serangan terhadap negara, yang mana [para politisi liberal]
akan enggan mendukungnya.
Sebagai
contoh lain, slogan "Adili Suharto" telah digabungkan dengan
slogan-slogan tambahan seperti "Nasionalisi perusahaan Suharto dan
kroni-kroninya." Ini tampaknya logis dan rada moderat, tetapi sebetulnya
kebanyakan perusahaan para konglomerat adalah hasil KKN, sehingga tuntutan ini
akan mengancam sistem kapitalis. Namun kita tidak boleh puas hanya dengan
langkah ke depan ini, melainkan juga harus berusaha untuk terus meradikalisasi
tuntuntan baru tersebut, misalnya dengan menambahkan: "nasionalisasi di
bawah pengelolaan demokratis kaum pekerja." Rasanya ini bisa diterima oleh
(paling tidak) sebuah minoritas dari kaum aktivis buruh, karena sesuai dengan
slogan "demokrasi" yang ada di lidah setiap politisi serta birokrat
dewasa ini. Tetapi di saat yang sama, betul-betul mengarah ke revolusi
sosialis. Begitu mereka mengaku setuju dengan tuntutan tersebut, kita mulai
menjelaskan kepada mereka bahwa inilah yang dimaksudkan dengan istilah
"sosialis".
Makanya
konsep-konsep masyarakat sosialis juga bisa disosialisikan dengan cara ini.
Kalau
kita berdiri di depan gerbang pabrik dan meneriakkan semboyan-semboyan
sosialis, jelas itu tidak ada gunanya sama sekali, bahkan sebaliknya: kaum
buruh bisa takut dan kita sendiri bisa diciduk.
Tetapi
kalau kita duduk-duduk di warung bersama beberapa buruh, dan kita memulai
perbincangan tentang koperasi, mereka tidak akan takut. Koperasi adalah hal
yang biasa saja, dan dianggap bagus oleh semua orang, termasuk Amien Rais, Adi
Sasono, bahkan Habibie. Kenapa harus takut? Kemudian kita katakan: kalau
koperasi itu bagus, kenapa semua ekonomi nasional tidak bisa dirubah menjadi
koperasi dalam skala besar?
Bagaimana
koperasi yang begitu besar bisa dikelola? Di sini kita mulai sekali lagi dari
konsep demokrasi yang sangat populer itu. Mana ada politisi atau tokoh terkenal
lainnya yang tidak mengaku pro-demokrasi? Pemerintah nasional harus demokratis.
Nah, kalau pemerintah nasional (yang begitu besar dan luas) bisa menjadi
demokratis, kenapa ekonomi kooperatif itu tidak bisa menjadi demokratis pula?
Atau
mungkin kita berargumentasi begini: Tuntutun demokrasi adalah berkaitan erat
dengan pencabutan dwifungsi ABRI. Pemerintahan harus diambil dari tangan para
jenderal. Itu pendapat umum. Nah, prinsip itu kita kembangkan secara lebih
luas. Para jendral juga memiliki banyak perusahaan. Kepemilikan itu berasal
dari KKN. Sehingga logis saja kalau kita mentuntut agar perusahaan itu
dinasionalisasi dan menjadi BUMN, artinya menjadi bagian dari pemerintahan.
Terus argumentasi ini kita lanjutkan: jalan-jalan tol milik Tutut harus di
nasionalisasi, IPTN juga...; Sehingga banyak perusahaan yang harus menjadi
bagian dari pemerintahan. Tetapi pemerintahan harus demokratis, ya kan? Kalau
begitu, BUMN juga harus demokratis, karena kita semua setuju dengan prinsip
demokrasi. Demokrasi dalam sebuah perusahaan -- bentuknya bagaimaina? Ya,
sebaiknya para karyawanlah yang mengelola perusahaan itu secara demokratis,
dengan memilih orang-orang yang dipercaya untuk menjadi "manajer".
Dengan
argumentasi semacam ini kita bisa menjelaskan prinsip-prinsip sosialisme secara
konkrit. Balasan para aktivis buruh mungkin begini: "Idenya bagus, tapi
pemerintah yang ada tidak akan mentolerir perubahan seperti itu." Jawab
kita: Ya, memang betul. Itu sebabnya kita butuhkan sebuah partai politik kaum
buruh yang independen dan revolusioner.
Yang
penting di sini bukan rinci-rincinya. Mungkin ada tuntutan lain yang lebih
efektif, itu terserah kawan-kawan setempat. Yang penting adalah metodenya.
Dalam setiap situasi, para revolusioner harus mencari peluang untuk mengambil
tuntutan dan keluhan yang timbul secara spontan, dan melengkapi
tuntutan-tuntutan tersebut dengan unsur-unsur tambahan yang membawa perjuangan
dan kesadaran kaum aktivis buruh satu langkah ke depan.
Ke
depan... tapi ke arah yang mana? Dalam masyarakat ada bermacam-macam pendapat tentang
jalan yang harus ditempuh. Ini sebabnya diskusi sosialisme di dalam golongan
revolusioner tidak boleh ditunda. Metode transisional dan strategi
"revolusi permanen" memang berjalan setindak demi setindak, tapi dari
awal menempuh jalan sosialis.
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D