Tradisi Marxis yang Sejati
"Seperti dalam kehidupan biasa kita membedakan
antara apa yang dipikir dan dikatakan seseorang tentang dirinya sendiri dengan
watak dan kelakuannya yang sebenarnya; lebih lagi dalam perjuangan sosial kita
harus membedakan ujaran-ujaran dan khayalan- khayalan semua pihak dari
sifat-dasar dan kepentingan mereka yang sebenarnya …" Karl Marx, Tanggal 18 Brumaire Louis Bonaparte
"Yang
aku tahu," canda Marx, "hanyalah, bahwa aku bukanlah seorang
Marxis."
Di abad
XX gurauan jenaka dialektis ini telah menjelma menjadi masalah politik yang
amat serius. Kita sudah menyaksikan timbulnya banyak macam aliran
"Marxis" yang berbeda-beda bahkan sering bertolak-belakang. Esai ini
bertujuan untuk menulusuri kekusutun itu. Namun sebelum mulai, mungkin ada
baiknya jika kita menjelaskan betapa rumitnya persoalan yang hendak kita
diskusikan.
Bukan
saja banyak orang yang mengaku Marxis yang memiliki pendapat berbeda mengenai
masalah-masalah tertentu (katakanlah akan kecenderungan laju profit untuk
turun, atau analisis terperinci tentang Uni Soviet); itu wajar dalam setiap
gerakan politik yang sehat dan teguh. Persoalannya jauh lebih rumit: bahwa kaum
"Marxis" sering saling memenjara, memerangi serta membunuh; yang
lebih merisaukan lagi, bahwa dalam semua konflik sosial, ada banyak kelompok
atau tokoh "Marxis" mengambil sikap yang sama sekali bertentangan.
Misalnya Lenin dan Plekhanov [seorang tokoh sosial-demokrat] di Rusia tahun
1917; Partai Komunis dan partai revolusioner POUM di Spanyol masa pemberontakan
di Barcelona tahun 1936; dan di Eropa Timur masa ambruknya blok Soviet.
Kontradiksi inilah yang mendorong kita untuk melontarkan pertanyaan: mana tradisi
Marxis yang sejati?
Ada yang
samasekali menolak pertanyaan tersebut, dengan menyatakan, tidak ada poinnya
mencari Marxisme yang "sebenarnya". Mereka puas dengan menerima semua
klaim atas nama Marxis. Dari satu sisi pendekatan ini agak bermanfaat buat kaum
pendukung ideologis sistem kapitalis, yang suka menyamakan semua aliran
revolusioner dengan Stalin dan Pol Pot. Dari sisi lain pendekatan ini juga
disukai oleh para "Marxolog" akademis, yang suka menulis "buku
pegangan" tentang bermacam-macam aliran politik tanpa memihak. Tetapi
pendekatan semacam itu terlalu pasif. Kita yang ingin bertindak secara praktis
untuk memperjuangkan perubahan sosial, harus membedakan antara yang benar dan
yang palsu.
Ada yang
berupaya memecahkan masalah ini dengan menyamakan Marxisme dengan karya Marx
sendiri, kemudian membandingkan karya tokoh politik lain dengan patokan itu.
Namun ini pendekatan religius. Menurut Friedrich Engels, Marxisme
"bukanlah sebuah dogma melainkan harus memandu aksi", makanya teori
tersebut harus terus hidup dan berkembang, harus mampu menganalisis alam nyata
yang senantiasa mengalami perubahan – alam nyata yang sudah berubah secara
dahsyat sejak meninggalnya Marx sendiri. Meskipun dengan alasan historis kita
memberi nama Marx sendiri untuk teori Marxisme, tradisi ini tidak bisa
direduksi secara dogmatis kepada karya-karyanya saja. Seperti yang Leon Trotsky
tulis, "Pada pokoknya Marxisme adalah metode analisis: bukan analisis akan
teks-teks saja melainkan terutama akan hubungan sosial."
Kutipan
Trotsky ini menunjuk kepada suatu pendekatan lain yang diterapkan oleh Georg
Lukacs. Dalam bukunya Sejarah dan Kesadaran Kelas (Geschichte und
Klassenbewusstsein, atau History and Class Consciousness), Lukacs bertanya, apa
itu Marxisme? Jawabannya:
Marxisme ortodox tidak … berarti menerima tanpa kritik segala hasil karya penyelidikan Marx. Bukan berarti ‘percaya’ kepada tesis ini atau itu, atau pengkajian sebuah kitab suci. Sebaliknya, istilah ‘ortodox’ hanya berkenaan dengan masalah metode.
Marxisme ortodox tidak … berarti menerima tanpa kritik segala hasil karya penyelidikan Marx. Bukan berarti ‘percaya’ kepada tesis ini atau itu, atau pengkajian sebuah kitab suci. Sebaliknya, istilah ‘ortodox’ hanya berkenaan dengan masalah metode.
Usulan
ini jauh lebih berbobot dari usulan sebelumnya. Lukacs mengerti bahwa teori
kita harus terus berkembang. Metode dialektis ini adalah unsur penting dalam
gagasan Maxisme. Meski begitu, pendekatan Lukacs tidaklah memadai. Tidaklah
mungkin untuk membuat batas pemisah yang mutlak antara metode Marx dan analisis
Marx lainnya, atau mereduksi isi pokok teorinya pada metode belaka. Umpama yang
dianjurkan oleh Lukacs sendiri justru memperlihatkan kesalahannya:
"Biar
kita taruh misalnya," tulisnya, "bahwa penelitian moderen telah menyangkal
semua tesis Marx secara tersindiri. Kalaupun itu terbukti, seorang Marxis
‘ortodox’ bisa saja menerima semua hasil penilitian tersebut tanpa ragu-ragu,
kemudian menolak keseluruhan tesis Marx, tanpa meninggalkan sikap ortodoksnya
sedikit pun."
Argumentasi
ini tidak meyakinkan. Misalnya, seandainya sistem kapitalis menjelma menjadi
masyarakat birokratis internasional tipe baru tanpa kontradiksi dan persaingan
intern, maka Marxisme (yang mendasarkan diri pada kontradiksi dan perjuangan
ekonomi, sosial dan politik) terang terbukti salah. Dan kaum pemikir seperti
James Burnham yang meramalkan akan perkembangan demikian terbukti benar.
Seperti yang ditulis Trotsky saat membicarakan kemungkinan tersebut, dalam
kasus semacam itu "hanya tinggal mengakui bahwa program sosialis, yang
mendasarkan diri pada konstradiksi intern kapitalisme, ternyata utopia
saja."
Kita
mungkin bisa tergoda untuk mendefinisikan Marxisme sebagai sebuah metode yang
disertai dengan sejumlah analisis serta anjuran utama. Namun ini hanya akan
menimbulkan pertanyaan lain, yaitu, analisis dan anjuran mana yang utama, dan
mana yang sekunder? Bagamaina caranya agar bisa lolos dari lingkaran setan ini?
Caranya ialah bukan dengan usaha yang sia-sia untuk menarik tesis abstrak
tertentu dari karya Marx, melainkan dengan menggunakan teori Marxis untuk
menyimak Marxisme sendiri secara utuh.
Sudut
pandang dan perjuangan kelas buruh sebagai dasar Marxisme
Menurut
Marx, "Bukan kesadaran sosial yang menentukan kenyataan sosial, melainkan
kenyataan sosial yang menentukan kesadaran." Makanya untuk mengerti dan
mendefinisikan sebuah filfasat, teori ataupun ideologi, terutama kita perlu
menganalisis "kenyataan sosial" yang merupakan dasar filsafat itu.
Dalam
Manifesto Komunis, Marx mendefinisikan berbagai mazhab yang mengaku
"sosialis" dengan menunjuk ke golongan sosial yang mereka wakili,
yaitu "sosialisme feodal", "sosialisme borjuis kecil", dsb.
Kemudian Trotsky membuktikan bahwa kunci pokok dari ideologi dan gerakan fasis
adalah posisi kelas borjuis kecil yang terjepit diantara kubu modal dan kubu
proletarian. Kita bisa saja mengajukan banyak contoh tambahan, namun yang
jelas, metode analisis yang sama harus diterapkan kepada Marxisme sendiri. Dan
ini merupakan pendekatan Marx and Engels.[1]
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
Pemaknaan tentang paham ini sangat sulit. Berbagai buku telah saya baca tapi masih sulit memahaminya. Terima kasih berkat tulisan ini sya sedikit lebih pahaman .
ReplyDeleteDari dulu teori marx mempuni di pikiran para kaum itelektual. Ragam penjelasan terlihat di berbagai tulisan tapi sangat sulit untuk dicerna. Tulisan ini sangat enak dibaca muda untuk dipahami. Makasih atas suguhan wacsnnya bang
ReplyDelete