ketika Hijab dan Jilbab disalah artikan (2)
Sebagaimana yang telah kita singgung pada bagian pertama bahwasanya terjadi perdebatan seputar hijab dan jilbab di kalangan pemikir. Pada bagian ini, kita akan menjelaskan perdebatan tersebut, tapi sebelumnya kita akan membahas perbedaan kata hijab dan jilbab.
Hijab dan Jilbab
Dalam kontex kekinian hijab diartikan jilbab dan jilbab
diartikan hijab, ini merupakan asumsi yang kurang tepat karena kata hijab dan
jilbab memiliki makna yang berbeda. Dalam budaya islam, jilbab dikenal sebagai
busana yang wajib dikenakan bagi wanita untuk menutupi auratnya sedang hijab
dimaknai sebagai penghalang untuk sampai pada tingkatan spritual yang lebih
tinggi. Kalau kita kaitkan dengan pembahasan logika, maka jilbab dan hijab
masuk dalam kategori “umum wa khusus mutlaq”. Jilbab masuk dalam kategori khusu
dan Hijab masuk dalam kategori umum. Jadi bentuk argumentasinya “ setiap jilbab
adalah hijab dan tidak semua hijab adalah jilbab”
Di zaman sekarang ini sangat sulit membedakan antara
wanita muslimah dan wanita yang hanya menjadikan jilbab sebagai alat untuk
menutupi keburukannya. Ini disebabkan karena
sebagian besar wanita islam memakai jilbab bukan karena kepatuhan dan
ketundukannya terhadap perintah tuhan melainkan hanya dijadikan sebagai alat
agar kelihatan lebih cantik atau hanya sebatas alat untuk menyembunyikan
keburukannya.
Perdebatan
seputar jilbab
Pada dasarnya ada dua poin
penting yang diperdebatkan oleh kalangan ulama dan pemikir terkait masalah Jilbab
yaitu dari sisi batasan aurat dan hijab sebagai budaya.
Untuk memudahkan
pejelasan, kita akan membagi dalam dua pandanga secara umum yaitu pandangan
barat dan pandangan islam
Pandangan barat
Kaum liberalisme berkeyakinan bahwa pakaian yang
digunakan oleh wanita-wanita muslimah tidak lain hanyalah sebuah busana yang
yang digunakan oleh kaum yahudi kemudian diexpor ke dalam kebudayaan islam.
asumsi ini berankat dari sebuah rizat (penelitian) yang dilakukan oleh kaum
liberalisme.
Salah seorang sosiolog liberalis sekuler, Karima
Wadghiri, mengatakan bahwa memaksa anak perempuan mengenakan jilbab tidak hanya
melanggar hak-hak anak dan membunuh mereka yang tidak bersalah, tetapi juga
memberi persepsi yang salah terhadap tubuh mereka. Aliran ini juga berangapan
bahwa orang-orang yang memakai jilbab adalah orang yang tidak memiliki
kemerdekaan.
Menurut paham modernisme, jilbab adalah sebuah tradisi
kuno yang tidak memiliki nilai. mereka berangapan bahwa jilbab pada zaman
moderen ini tidak lagi layak untuk dikenakan karena tidak sesuai dengan perkembangan
dan tuntutan zaman.
Kaum-kaum kapitalisme beranggapan bahwa sesungahnya
jilbab hanyalah sebuah busana yang dikenakan oleh wanita muslim untuk
mempercantik dirinya, sehinga mereka mencoba mencetak busana-busana muslimah
yang lebih tren lagi. jilbab yang dulunya dimaknai sebagai penutup aurat
sekaran mengalami peralihan makna. sekaran jilbab dipandang sebagai busana
kecantikan.
Pandangan Islam Secara
Umum
Diantara sekian banyak partai islam sebagian kecil dari
mereka berangapan bahwa jilbab tidak lebih hanyalah selembaran kain yang
digunakan untuk menutupi kepalah, jilbab tidak memiliki nilai-islamia
sedikitpun. Ada juga yang berangapan bahwa jilbab bukanlah sesuatu hal yang
diwajibkan bagi wanita hanya saja dianjurkan, salah satunya adalah prof,
Quraish shihab.
Beliau mengatakan bahwa sesunguhnya jilbab itu tidak
wajib bagi kaum wanita hanya saja dianjurkan. Pernyataan ini mengundan
perselisihan yang sangat besar diantara toko-toko islam. (bersambung)
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D