Hello

Welcome To My Blog

MISBAHUDDIN HASAN
Semoga Tulisan di Blog ini Bermanfaat Bagi Anda

Recent

Rindu Ayah (Versi Cerpen) (2)

S-E-N-Y-U-M-A-N
Ku buka pintu dan kulihat wajah cantik itu murung. Seketika itu air wajahku berubah, “kenapa ma? Kok murung gitu?” Wajah itu menjawab dengan senyum bohongnya, “Gpp nak… Ayo ganti baju cepet, kita kerumah sakit. Ayah mu agak gak enak badan.” Aku terdiam, “Ayah kenapa ma?” Senyum itu menjawab lagi, “Gpp kok, sakit biasa”.

Aku langsung bergegas. Lupa kata senyum, kata indah, bahagia, senangnya hari ini, aku lupa semua.
Dinginnya AC mobil membuat memoriku melayang entah kemana. Aku hanya ingat ketika dia datang di malam pekat, sementara aku sedang berbaring mengintip, berpura-pura terlelap. Dia datang dan menghidupkan lampu kamarku, dia berkata, "aku tahu kau belum tidur" dengan senyum jenakanya, aku pun tertawa, kemudian bibir mungilku bertanya, "kok tau?" dia pun menyahuti, "mana mungkin aku tak tau tentang belahan jiwaku" aku pun terbahak tanpa pernah berpikir apapun. Malam ini telah merubah hari bahagia ku. Kali ini aku hanya takut. Takut tawa jenaka itu akan hilang dan berakhir.

Tapi aku tetap tersenyum. Tapi tak seperti senyum yang tadi. Aku masih bisa tertawa tapi tak seperti tawa yang dulu. Aku masih bisa berbesar hati, karena ku pikir ayah terkena penyakit biasa.
Akhirnya ku beranikan diri tuk bertanya, “ayah sakit apa?” Suara yang tak seperti biasanya itu menjawab, “tumor nak…” Tiba-tiba tenggorokanku terasa tersedak, tak bisa bernafas. Tapi aku tetap tersenyum, tapi tak seperti senyum sebelumnya. Aku menjawab enteng tuk membesarkan ahti ayah, “Ooo, tenang aja yahh.. Tinggal di operasi, beres deh..”

Aku keluar dari ruang inap itu dengan senyuman, namun tak seperti senyum yang dulu. Aku harus pulang malam itu. Besok aku harus datang pagi-pagi ke kebun raya, untuk ikut out bound bersama untuk merileks-kan otak sebelum ujian. Hanya satu yang ku tangkap dalam acara itu. Aku harus selalu positif thinking. Harus!

2 hari setelah kedatanganku yang pertama. Aku kembali datang kerumah sakit. Aku tak tau, hari itu aku benar-benar rindu ayah. Aku sempat berpikir macam-macam. Tapi aku teringat, harus berpikir positif. Harus!

Hari itu pikiran positifku tak begitu membantu. Ternyata ayah berbohong waktu itu. Bukan tumor yang ada di tubuhnya. Tapi kanker. Penyakit yang ditakuti semua orang. Untuk yang kedua kalinya aku seakan tersedak tak bisa bernafas. Dengan sisa nafasku aku bertanya, “Stadium berapa?” Wajah layu ibuku menjawab, “Masih stadium 1 nak..”. Tangan hangatnya membelai rambutku. Aku mulai bisa bernapas. Aku tersenyum. Berpikir positif. Hanya stadium satu. Pasti mudah disembuhkan. Tapi tak seperti senyum yang sebelumnya.

Lagi-lagi aku harus pulang malam itu. Aku harus menemani adik-adik yang masih kecil. Sementara ibu harus menemani ayah selalu.

Aku sampai dirumah kecilku. Menatap langit. Kenapa tak ada bintang malam ini???
Hatiku berteriak dalam senyum bibirku didepan adik-adikku. “Insya Allah besok ayah kita bisa pulang dek, sekarang tidur yaa…”.

Aku terlentang melihat atap yang seakan ingin memeluk menghibur. Mata ku masih mengingat kejadian malam tadi. Ketika aku dan adik-adikku menjenguknya. Dia dengan tangannya yang lemah berusaha menggendong adikku yang paling kecil di atas tubuhnya. Dia tertawa, sedang diriku tersenyum. Senyum berbalut hati yang miris. Takut semua ini berakhir dan hilang. Tiba-tiba ia memegang tanganku, dan meletakkannya diatas tangan ibuku. Ia bergumam tak jelas. Aku yang tak mengerti hanya mengangguk saja, tak tahu harus berkata apa.

Mata ku mulai terpejam. Hanya gelap yang terlihat. Sambil sesekali wajah ayah mengintip di ujung sana. Aku berlari. Berlari menghampiri ayah. Tapi ayah bersembunyi. Sekali lagi aku melihatnya semakin jauh. Mengintip mengayunkan tangan. Memanggil buah hatinya yang sedang gundah ini. “Ayaah… Jangan maen petak umpet gini dong… Aku sudah capek berlari.”

Hujan semakin deras. Tetesan berubah menjadi air lebat. Seakan langit sedang menangis keras. Guntur tak ingin terlambat menyumbangkan sedihnya. Aku tetap duduk di samping jendela. Tersenyum. Tapi tak seperti senyum yang dulu.

Suara pintu terbuka tak merubah lamunanku. Tangan yang kukenal itu mulai menghangatkan kepalaku yang dingin. “Nak, apakah kau tak malu terhadap pohon. Berulang kali kehilangan daunnya, tapi tak pernah putus asa. Kau hanya kehilangan nafasnya. Bukan hatinya, bukan pula ruhnya. Dia selalu ingin melihatmu tersenyum seperti dulu. Apakah kau tak ingin melihatnya tersenyum setelah dia merasakan sakit yang merenggut nyawanya?” (bersambung)

Share this:

PENULIS

Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas

BERGABUNGDENGAN PERCAKAPAN

0 komentar:

Post a Comment

Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D