Rindu Ayah (Versi Cerpen) (tamat)
Suara telpon
terdengar keras mengagetkan mimpiku bertemu ayah. Aku terbangun. Menatap layar.
Pamanku menelpon, “Cepat kesini sekarang!”
Aku berlari menghantam pintu kamar sopirku. “Pak, ayo cepet!!! Kita ke rumah sakit sekarang!!”
Aku berlari menghantam pintu kamar sopirku. “Pak, ayo cepet!!! Kita ke rumah sakit sekarang!!”
Dinginnya AC tak terasa menusuk. Panasnya hati mengalahkan segala rasa. Perjalanan ini terasa lama. Aku hanya ditemani rasa cemas dan gelisah.
Aku sampai
didepan koridor rumah sakit. Aku terdiam. Terdiam melihat orang-orang yang
menangis. Terdiam melihat syahadat yang tak putus-putusnya dilantunkan.
Terdiam. Tersenyum. Tapi kali ini senyumku menahan tangis. Hatiku berteriak.
Tangisku hampir pecah. Tapi wajah ayah terlintas di benakku. Wajah yang selalu
melarangku tuk menangis. Aku tak boleh menangis!
Aku tak
melanjutkan langkahku menuju kamar ayah. Aku berlari keluar. Aku berlari.
Mencari dimana dia. Dimana? Mereka yang selau mengharap uluran tangan
orang-orang mampu. Dimana mereka? Aku butuh mereka sekarang. Aku ingat betul,
sedekah dapat memperpanjang umur.
Dan
kata-kata itu tak pernah dusta. Ku dapati keluargaku mulai tenang setelah aku
kembali ke ruang ayahku. Ayahku masih hidup. Aku tersenyum. Tapi tak seperti
senyuman yang dulu.
Ku ingat
sekali waktu itu. Saat ku belai wajah pucatnya. Saat hatiku teriris melihat
bibirnya yang mulai pecah dan tak berwarna. “Ayah ngeliat apa?” Matanya tak
bergerak, mulutnya diam membisu. “Orangnya tinggi besar ya yah?” Wajah lemahnya
hanya mengangguk. “Pake baju putih ya?” tanyaku polos. Dan ia pun mengangguk
lagi. “Orangnya berjenggot yah?” Kali ini ia tidak mengangguk. Wajahnya menoleh
kepadaku. Menatap dalam mata lesuku. Aku tak kuat lagi. Aku tak bisa tersenyum.
Air hangat itu telah membasahi pipi mungilku. Aku berlari ke toilet. Kau tak
tau kenapa. Antara malu dan takut kurasa.
Aku kembali
dengan mata berair. “Ayah, orangnya masih ada?” Kau menggeleng dan tersenyum.
Ohh, senyum yang kurindu akhir-akhir ini. Aku pun mulai bercerita banyak hal.
Semua kuceritakan. Tak ingin satupun ceritaku tertinggal. Ingin kuluapkan
kerinduanku selama ini. Kau hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Bukan karena
senang, tapi karena kanker itu telah merusak rongga THT-mu.
***
Hujan mulai
reda. Langit mulai terang kembali. Gemuruh itu perlahan hilang. Aku menoleh ke
wajah tabah bundaku. Tak ada seorang pun hari ini yang membuatku merasa ada.
Selain bundaku tercinta. “Maafkan aku bunda, malam ini aku benar-benar rindu
kepada ayah.”
Aku ingat sekali, hari itu hari sabtu. Pagi sekali aku sudah bersiap untuk kembali menjenguk ayah. Aku pun menelpon bunda, “Bun, aku kesana ya?”. Suara di seberang menjawab, “Gak perlu sayang, ayahmu sudah membaik kok. Semua organnya udah normal, gak ada yang lumpuh lagi. Udah bisa ngomong, segala macem deh. Kata dokter besok bisa pulang. Kamu sama adek-adek tunggu dirumah aja yaaa”.
Hari itu aku tersenyum. Senyum yang dulu. Yang lama tak pernah kurasakan. Hatiku berbunga-bunga bagai gurun tersapu sejuknya embun. Ayah besok pulang.
Wajah ceriaku kembali tampak. Senyumku yang dulu. Tawaku yang lama hilang. Semua kembali. Dan semua pergi di pukul 19.45 tepat. Saudaraku menelpon. “Dijemput sekarang”. Aku menjawab, “Ada apa? Oke deh”. Telpon itu langsung ditutup dan aku tak berpikir apapun.
Mobil
berjalan tenang menyusuri jalanan macet ibu kota. Rumah sakit yang sangat
kukenal mulai tampak. Aku berjalan santai menyusuri koridor. Melewati
kamar-kamar pasien. Aku merasa semua sedang berbahagia karena sanak keluarganya
mulai membaik. Sama halnya denganku. Ayahku besok akan pulang.
Ternyata aku
salah, kamar ayahku tak seperti kamar lainnya. Aku melihat dari kejauhan,
pamanku berdiri mematung. Matanya terlihat kosong. Aku hampiri dia. Dia yang
selalu tersenyum saat bertemu ponakan kesayangan ini, kini berbeda. Dia diam.
Matanya sembab. Memelukku erat. “Ayahmu meninggal.”
***
Guntur tiba-tiba kembali bergejolak. Hujan sontak mengguyur deras. Bundaku tetap berdiri disampingku. Tetesan hangat itu mengenai wajahku. Aku diam. Aku tak bisa melihat orang yang paling kusayangi menangis. Karena ayahku tak suka melihatnya. “Bun, Ayah tak suka melihat orang yang disayanginya menangis. Bunda mau ngliat Ayah sedih?”
Kau tau ayah? Aku histeris saat itu. Aku berteriak layaknya orang gila. Sepanjang koridor ucapanku menceracau. Aku benar-benar hancur saat itu. Pikiranku kosong. Terlebih saat ku melihat sesosok tubuh yang tertutupi kain putih. Sumpah demi Tuhan duhai Ayah, saat itu aku mengaharap bukan kau dibalik kain putih itu. Ternyata saat ku singkap kain putih itu. Hatiku hancur. Benar-benar hancur. Mimpi-mimpi yang dulu sering kita bicarakan telah hilang tak bersisa. Rencana-rencana masa depan yang kau impikan. Seketika itu menjadi butiran debu. Aku meratap di samping tubuhmu. Kupeluk dirimu. Ayahku, apa yang harus kulakukan? Sedang penopang hidupku adalah dirimu.
Ingatkah kau ayah?
Kau memelukku. Menggendongku. Menuntunku. Mengajariku. Dan semua kasihmu yang tak mungkin pernah ku lupa.
Ayah, ingatkah kau? Bahwa kau selalu ingin menuntunku hingga ku dewasa. Dan saat itu, aku lah yang akan menuntunmu, memegang lembut tanganmu , membelai halus rambut putihmu, menikmati senyum di wajahmu yang penuh keriput, tanda akan banyaknya kepahitan hidup yang telah kau hadapi.
Namun, itu hanya hayal belaka saat ini!
Tangan yang dulu kuciumi, dahi yang selalu kukecup di kala pagi, hanya sisakan kenangan yang begitu manis.
Demi Tuhan
duhai Ayahku! Kaulah guru kehidupan bagiku, pengayomku, penyemangatku,
adrenalin dalam darahku.
Dan ingatkah
kau? Malam itu, aku bercerita padamu, semuanya, kuungkapkan semua kebusukan ku,
kuakui dosa dan salahku, dan aku pun meratapi diammu. Harusnya kau marah!
Harusnya kau menamparku! Tapi mengapa kau diam? Bahkan melirikku saja tidak!
Maaf ayah, aku sering kali mengganggu tidur nyenyakmu, dan terimakasih kau tak pernah marah akan hal itu.
Maaf ayah, aku sering kali mengganggu tidur nyenyakmu, dan terimakasih kau tak pernah marah akan hal itu.
Seketika hujan berhenti. Alam pun mulai tenang. Angin pun terdiam. Seakan khidmat mengikuti alunan rindu. Aku dan ibu tersenyum. Senyuman air mata penuh doa agar dia tenang disana.
Love you, and very miss you Ayahku
Hari ini aku baru mengetahui, bahwa kanker yang diderita ayahku telah mencapai stadium 4. Terima kasih atas semua kebohongan yang menenangkan hati.
***
kisah ini adalah bagian dari perjalanan hidup salah seorang sahabatku. beliau adalah sosok inspiratif dalam berbagai hal. kecerdasan dan kelembutan sikapnya memunculkan rasa irih dalam jiwaku. ohh angin!!! sampaikan salam persahabatanku kepadanya. oh rembulan!!! jangan biarkan dia larut dalam kesedihan, hiburlah dia dengan cahayamu yang indah, dan katakan kepada bintang, tetaplah setiap memberikan cahanya agar langit nampak indah sehingga dia bisa merasa tenang dan damai ketika menatap angkasa.
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D