Kritik Kaum Sofis
Ada beberapa premis yang harus kita pahami sebelum
mengkritik paham ini, yaitu sebagai berikut.
berdasarkan
sejarah munculnya aliran ini, kita dapat memahami apa yang diinginkan oleh
penganut paham ini dan latar belakang apakah yang menjadikan mereka berpaham
demikian. Kemampuan beretorika di dalam pengadilan yang dapat “mengubah” dan
memenangkan kesalahan. Tentu, ini semua mereka dapatkan dengan membuat beberapa
pengelabuan dan pembohongan terhadap manusia awam ataupun orang-orang yang berkepentingan
politik di zamannya. Salah satu cara yang mereka gunakan untuk mengelabui orang
awam adalah dengan bahasa yang diputarbalikkan. Contohnya, pernyataan seperti: Aghre mencintai isterinya, begitu
pula Agreei. Dalam kalimat ini dapat kita temukan dengan jelas penyamaran
bahasa karena kalimat tersebut bisa menimbulkan pemahaman beragam. Pemahaman
yang mungkin muncul adalah: 1) Aghre mencintai isterinya begitu pula Agreei
mencintai isteri Aghre. 2) Aghre mencintai istrinya dan Agreei mencintai
isterinya sendiri. 3) Aghre mencintai Agreei. Dengan menciptakan pemahaman yang
beragam dari statement tersebut, mereka dapat menyatakan bahwa tidak kebenaran
absolut bagi manusia. Alasannya, manusia untuk dapat memahami pikiran orang
lainnya menggunakan alat berupa huruf-huruf yang tersusun menjadi kata-kata,
dan kata-kata tersebut tersusun menjadi bahasa. Sementara itu, bahasa dapat
dipahami secara beragam dan bergantung terhadap asumsi masing-masing individu.
Akibatnya, kebenaran pun mengalami hal yang sama.
Jika kita
memfokuskan kritikan pada masalah bahasa maka dapat kita sodorkan beberapa
kritik, yaitu sebagai berikut.
A. Dalam bahasa juga terdapat beberapa aturan yang harus dijaga oleh
penggunanya. Bila aturan ini dilanggar maka akan terjadi kesalahpahaman audien. B. Realitas yang ada di hadapan kita tak dapat diubah dengan hanya menggunakan bahasa. Contohnya, bila kita memiliki pengetahuan bahwa api itu panas dan membakar maka siapapun tak akan dapat mengubahnya dengan bahasa sehingga kita dapat meyakini bahwa api itu dingin dan tak membakar.
Ada sebuah anekdot dalam hal ini. Dahulu kala, hidup
seorang bernama Juha. Ia datang ke suatu perkampungan dan membohongi penduduk
setempat dengan mengatakan bahwa di kampung A sedang dibagikan makanan secara
gratis. Akibatnya, seluruh penduduk tadi berbondong-bondong meninggalkannya
menuju kampung yang ia sebutkan. Melihat kenyataan demikan, dia pun akhirnya
beranggapan bahwa apa yang ia katakan ada kemungkinan benarnya. Lalu, ia pun
berangkat menuju ke kampung tersebut.
Anekdot
tersebut terlihat pas untuk menggambarkan kaum sophis. Mereka menyebarluaskan
paham “tidak ada kebenaran absolut yang dapat diyakini oleh manusia” dengan
kemampuan retorika mereka. Awalnya, paham ini disebarluarkan untuk sekedar
untuk mencari sesuap makanan di pengadilan dan untuk kepentingan politik. Namun
akhirnya, ketika masyarakat awam meyakininya, mereka pun ikut meyakininya.
Kita dapat
mengajukan kritik terhadap pendapat mereka dari sudut pandang lainnya yang
lebih logis. Setiap manusia selalu merasakan adanya kebutuhan terhadap suatu
objek (misalnya, kebutuhan terhadap makanan) di dalam kehidupannya sehari-hari.
Dari situlah ia merasa dirinya ada dan objeknya itu pun ada. Manusia dapat saja
mengatakan bahwa dirinya mengingkari keberadaan realitas secara mutlak, tetapi
itu semua hanya sebatas verbal (kata-kata), bukan satu keyakinan yang ada pada
lubuk hati ataupun akal budinya. Hal ini disebabkan segala macam bentuk
pengingkaran terhadap realitas secara mutlak adalah keyakinan pada keberadaan
realitas itu sendiri. Paling sedikit, ia telah menyadari bahwa dirinya yang
telah mengingkari realitas. Artinya, tanpa disadarinya, dia telah meyakini
adanya dua hal. Pertama, dirinya sendiri. Kedua, realitas yang akan ia ingkari
(walaupun realitas itu dalam bentuk sebuah gambaran yang ada di akal budi).
Statement
kaum sophis juga bisa kita kritik dengan cara mengajukan pertanyaan
"Apakah statemen itu absolut atau tidak?" Terlihat di sini, ada
kontradiktif yang terjadi. Jika jawabannya tidak, berarti masih dimungkinkan
bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang absolut. Jika jawabannya ya,
paling tidak mereka telah meyakini satu hal yang absolut yaitu statement
tersebut. Hal ini tentu bertentangan dengan statement mereka sendiri karena
dengan demikian telah terealisasi satu pengetahuan yang “absolut” dan “benar”
menurut mereka.
Oleh karenanya, terlebih dahulu kita harus mempercayai
ataupun mengimani adanya realitas sehingga kajian dari pembahasan ini lebih
terarah. Semakin kita berbicara tentang realitas semakin kuat pula keimanan
kita terhadapnya. Ini semua dikarenakan keberadaan realitas adalah hal yang
sangat apriori. Para filosof Islam, seperti AllamahThabathabai, Molla Hadi
Sabzawari, dan Molla Shadro dalam karya-karya mereka selalu memulai kajian
dengan pembahasan tentang adanya realitas (wujud /being) sebelum
membahas yang lainnya. Hal ini disebabkan penerimaan terhadap realitas adalah
kunci dan modal bagi bahasan yang lainnya.
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D