Hello

Welcome To My Blog

MISBAHUDDIN HASAN
Semoga Tulisan di Blog ini Bermanfaat Bagi Anda

Recent

Ketika Purnama Jadi Bunda, Dunia Milik Mereka Berdua


Purnama, Itulah panggilan kasih sayang seorang aktivis yang dikhususkan kepada seorang pejuang perempuan yang tak kenal lelah dalam mentranspormasi ilmu kepada orang-orang sekitarnya.

Saat mendengar nama itu ( Purnama ) keluar dari lisan aktivis laki-laki, sontak saya tak sepakat karena menganggap dia telah menjauhkan wanita itu dari keharmonisan keluarganya. Nama yang orang tua berikan kepada anaknya adalah nama terbaik menurut mereka. Maka dari itu, ketika kita mengubah nama seseorang berarti kita telah menyakiti perasaan orang tuanya. apalagi ketika orang tersebut bergelar Andi, sungguh sangat tidak beradab. Dan entah apa yang akan dikatakan orang tuanya saat mengetahui tidak ada lagi embel-embel Andi melekat pada nama anaknya. Tapi yang pastinya, kekecewaan akan Nampak dari raut wajah mereka.

Unek-unek bersemayam dalam pikiran mengantarkan saya untuk bertanya ” kenapa kakak mengganti nama perempuan itu? Nanti orang tuanya marah karena kakak telah menghilangkan gelar Kebangsawanan nya dengan menamainya purnama. Sekalipun itu adalah panggilan kasih sayang kepadanya.

Saat mendengar ucapanku, dia tertawa dan berkata “ Misbah bilang, jangan suka mengganti nama orang”. Entah kalimat itu ditujukan pada saya atau orang yang dia telfon, tapi yang pastinya terdengar suara perempuan “ betul kata Misbah”.

Saya yang mulai terlupakan akibat kekhusuannya berdiskusi dengan purnama bersegera mengambil burung perkutuk yang baru saya bawah dari Mamuju. Kuikat burung itu di trail besi jendela kamar tempat dia menelfon. Bosan mendengar diskusi yang tak penting, saya pun bercakap-cakap dengan burung itu, dan kunumai dia Purnama sebagai bentuk panggilan kasih sayang saya kepadanya.

Jelang beberapa Minggu kemudian, terdengar kabar bahwa dia telah mengedar undangan pernikahannya dengan Purnama. Kebahagiaan pun menyelimuti diri, akhirnya aktivis lanjut usia mengakhiri masa lajangnya dengan menyempurnakan 2/3 agamanya.

Sehari sebelum akad nikah berlangsung, saya dan beberapa kawan-kawan mempersiapkan kendaraan. Ada yang mengendarai motor dan ada juga yang naik mobil. Saya dan Hidayat berada di mobil Avanza. Dan para Ustad berada di Mobil Ford. Perjalanan yang menyita waktu kurang lebih enam jam, menyisakan bekas pada jiwa dan raga.  Apa lagi bersama lima perempuan yang rempong dan banyak maunya, sungguh sangat melelahkan. Baru kali ini saya menyetir mobil dalam keadaan tertekan.

Sesampainya disana, kami disambut dengan wajah ceria. Kak Hasan yang sedari tadi menunggu, berdiri serambi berjalan menujuh ke arah kami lalu menyalami. Rasa lelah menyelimuti diri sirna seketika melihat gelas berisi air hitam disajikan di hadapan kami. Tanpa pikir panjang, kuarahkan tangan dan mata ke gelas itu, lalu saya berkata “ inilah yang dari tadi saya tunggu-tunggu. Untung cepat dibuatkan kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada tubuh dan pikiranku”.

Awalnya saya tak bisa membayangkan, bagaimana reaksi seorang aktivis yang perokok berat duduk berjam-jam di atas pelaminan tanpa rokok dan kopi? Akhirnya, saya memperhatikan gerak-geriknya di atas pelaminan. Ternyata, dia tak ubah seperti anak ABG yang gelisah ditinggal kekasih.

Menjelang sore, ia menghampiri kami yang sedang duduk berdiskusi di bawah tenda samping rumah. Ia menceritakan saat sang mempelai wanita menginjak kakinya sebagaimana adat yang berlaku saat acara pernikahan. Dia lalu berkata pada istrinya “ kau ini berdosa, masa injak kaki suami” dengan wajah lesuh sang istri menjawab “ saya disuruh”.

Di tengah perjalanan balik ke Makassar, saya meminta kepada Hidayat untuk mengganti kan saya menyetir mobil karena ustad-ustad di Mobil Ford tak ada yang mau menyetir karena ngantuk. Akhirnya saya pindah.

Kenyamanan menyetir membuat saya lupa kalau Hidayat tertinggal jauh. Saya yang merasa sok tahu jalan akhirnya memilih berada di depan sebagai penunjuk jalan. Jelang beberapa menit, saya dan ustad yang duduk di samping  kaget saat melihat sesuatu menghalangi jalan kami. Mata saya mulai memperhatikan dengan seksama, “ danau” kataku. ustad membantah “ bukan, itu sungai”. Akhirnya mata yang tadinya sayup seketika itu melek karena tak kuasa menahan tawa. “ ternyata kita salah memilih jalan pulang” seru ustad yang duduk di belakan. Kami putar balik, dan saya membiarkan Hidayat berada di depan. Sesampainya di Maros, sesuatu yang tak diinginkan kembali menghampiri kami, lagi-lagi, saya salah memilih jalan pulang.

Share this:

PENULIS

Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas

BERGABUNGDENGAN PERCAKAPAN

0 komentar:

Post a Comment

Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D