Ketika Purnama Jadi Bunda, Dunia Milik Mereka Berdua
Purnama, Itulah panggilan
kasih sayang seorang aktivis yang dikhususkan kepada seorang pejuang perempuan
yang tak kenal lelah dalam mentranspormasi ilmu kepada orang-orang sekitarnya.
Saat mendengar
nama itu ( Purnama ) keluar dari lisan aktivis laki-laki, sontak saya tak
sepakat karena menganggap dia telah menjauhkan wanita itu dari keharmonisan
keluarganya. Nama yang orang tua berikan kepada anaknya adalah nama terbaik
menurut mereka. Maka dari itu, ketika kita mengubah nama seseorang berarti kita
telah menyakiti perasaan orang tuanya. apalagi ketika orang tersebut bergelar Andi,
sungguh sangat tidak beradab. Dan entah apa yang akan dikatakan orang tuanya
saat mengetahui tidak ada lagi embel-embel Andi melekat pada nama
anaknya. Tapi yang pastinya, kekecewaan akan Nampak dari raut wajah mereka.
Unek-unek
bersemayam dalam pikiran mengantarkan saya untuk bertanya ” kenapa kakak
mengganti nama perempuan itu? Nanti orang tuanya marah karena kakak telah
menghilangkan gelar Kebangsawanan nya dengan menamainya purnama. Sekalipun
itu adalah panggilan kasih sayang kepadanya.
Saat mendengar
ucapanku, dia tertawa dan berkata “ Misbah bilang, jangan suka mengganti nama
orang”. Entah kalimat itu ditujukan pada saya atau orang yang dia telfon, tapi
yang pastinya terdengar suara perempuan “ betul kata Misbah”.
Saya yang mulai
terlupakan akibat kekhusuannya berdiskusi dengan purnama bersegera mengambil
burung perkutuk yang baru saya bawah dari Mamuju. Kuikat burung itu di trail besi
jendela kamar tempat dia menelfon. Bosan mendengar diskusi yang tak penting,
saya pun bercakap-cakap dengan burung itu, dan kunumai dia Purnama
sebagai bentuk panggilan kasih sayang saya kepadanya.
Jelang beberapa
Minggu kemudian, terdengar kabar bahwa dia telah mengedar undangan
pernikahannya dengan Purnama. Kebahagiaan pun menyelimuti diri, akhirnya
aktivis lanjut usia mengakhiri masa lajangnya dengan menyempurnakan 2/3
agamanya.
Sehari sebelum
akad nikah berlangsung, saya dan beberapa kawan-kawan mempersiapkan kendaraan. Ada
yang mengendarai motor dan ada juga yang naik mobil. Saya dan Hidayat berada di
mobil Avanza. Dan para Ustad berada di Mobil Ford. Perjalanan yang menyita
waktu kurang lebih enam jam, menyisakan bekas pada jiwa dan raga. Apa lagi bersama lima perempuan yang rempong
dan banyak maunya, sungguh sangat melelahkan. Baru kali ini saya menyetir mobil
dalam keadaan tertekan.
Sesampainya
disana, kami disambut dengan wajah ceria. Kak Hasan yang sedari tadi menunggu,
berdiri serambi berjalan menujuh ke arah kami lalu menyalami. Rasa lelah
menyelimuti diri sirna seketika melihat gelas berisi air hitam disajikan di hadapan
kami. Tanpa pikir panjang, kuarahkan tangan dan mata ke gelas itu, lalu saya
berkata “ inilah yang dari tadi saya tunggu-tunggu. Untung cepat dibuatkan
kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada tubuh dan pikiranku”.
Awalnya saya tak
bisa membayangkan, bagaimana reaksi seorang aktivis yang perokok berat duduk
berjam-jam di atas pelaminan tanpa rokok dan kopi? Akhirnya, saya memperhatikan
gerak-geriknya di atas pelaminan. Ternyata, dia tak ubah seperti anak ABG yang
gelisah ditinggal kekasih.
Menjelang sore,
ia menghampiri kami yang sedang duduk berdiskusi di bawah tenda samping rumah. Ia
menceritakan saat sang mempelai wanita menginjak kakinya sebagaimana adat yang
berlaku saat acara pernikahan. Dia lalu berkata pada istrinya “ kau ini
berdosa, masa injak kaki suami” dengan wajah lesuh sang istri menjawab “ saya
disuruh”.
Di tengah
perjalanan balik ke Makassar, saya meminta kepada Hidayat untuk mengganti kan
saya menyetir mobil karena ustad-ustad di Mobil Ford tak ada yang mau menyetir karena
ngantuk. Akhirnya saya pindah.
Kenyamanan menyetir
membuat saya lupa kalau Hidayat tertinggal jauh. Saya yang merasa sok tahu
jalan akhirnya memilih berada di depan sebagai penunjuk jalan. Jelang beberapa
menit, saya dan ustad yang duduk di samping kaget saat melihat sesuatu menghalangi jalan
kami. Mata saya mulai memperhatikan dengan seksama, “ danau” kataku. ustad
membantah “ bukan, itu sungai”. Akhirnya mata yang tadinya sayup seketika itu
melek karena tak kuasa menahan tawa. “ ternyata kita salah memilih jalan pulang”
seru ustad yang duduk di belakan. Kami putar balik, dan saya membiarkan Hidayat
berada di depan. Sesampainya di Maros, sesuatu yang tak diinginkan kembali
menghampiri kami, lagi-lagi, saya salah memilih jalan pulang.
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D