Ayah Jangan Pergi!!!
Hari yang dinanti
nantikan telah tiba. Malam sebelum ke pergiannya, Pak Mansyur memanggil para
tetangga dan Pak Imam untuk berkumpul di rumahnya. Aneka ragam makanan pun di
sajikan. Sokko, Pisang, Nasi, Ayam, ikan, dan beberapa jenis kue, tertata rapi
di atas nampan bulat.
Sudah menjadi tradisi
bagi warga desa Puang, setiap kali ingin bepergian jauh, dalam hal merantau, mereka
terlebih dahulu mengadakan syukuran. Semalam sebelum meninggalkan kampung halaman, mereka menyediakan
aneka ragam makanan, lalu memanggil orang yang dianggap memiliki tingkatan
spiritual yang tinggi, untuk mendoakannya agar perjalanannya diberkahi.
***
Malam itu, para
warga tampak riang. Sesekali canda tawa menggelegar ke angkasa memenuhi setiap
ruang rumah pak Mansyur. Para lelaki tua saling beradu pikiran lewat domino.
Bagi yang kalah akan mengantungkan baterai radio di telinganya. Para ibu-ibu pun
ikut memeriahkan. Mereka berkumpul di
dapur, mencuci perlengkapan bekas tempat makanan sembari bergosip.
Udin mendekati pak
Mansyur yang sedang bercerita bersama Pak Imam Masjid. Ia memeluk leher ayahnya
lalu berkata “ saya mau ikut bersama ayah”
Pak Mansyur melepaskan
tangan mungil Udin dari lehernya, lalu memangkunya. “ kalau anak ayah ikut,
terus yang bantu ibu di rumah siapa?”
“kak Rahman”
jawab Udin sambil mendongakkan kepalanya, menatap wajah sang ayah yang sebentar
lagi akan meninggalkannya.
Butiran air mata
nampak jelas di pelupuk mata pak Mansyur. Ia memeluk bungsunya, menciumi pipih
dan keningnya. Pak imam hanya terdiam menatap sayu seorang anak yang seakan
enggan melepas Kepergian ayahnya.
Rahman mendekati
adiknya lalu membawahnya ke warung sebelah rumah. “ kamu mau yang mana” tanya
Rahman. “ Snack dan permen” jawab Udin.
Mereka kembali
berjalan menuju rumah. di pertengahan jalan, Rahman berkata “kalau kak Rahman
berangkat kerja, sepulang sekolah, kamu bantu ibu bersih-bersih rumah yah.
Nanti sehabis gajian, kakak belikan kamu sepatu, tas, dan seragam sekolah yang
baru. Biar kamu tidak di ejek lagi sama teman-temanmu di sekolah. Bagaimana
kamu setuju?”
Sembari menjilati
permen, Udin menjawab “ deal ”
***
Mentari pagi
mulai terlihat di ufuk timur. Semburat cahayanya melukis indah tanpa makna.
Kabut hitam yang menyelimuti angkasa, berlahan memperlihatkan langit biru.
Angin berhembus sepoi, pepohonan menari lincah mengikuti irama angin. Benturan
Ranting-ranting pohon menciptakan nada baru, mengajak burung bernyanyi merdu.
Udin berjalan
keluar rumah menuju jalan setapak. Ia menatap cemas sekelilingnya. Berjalan ke
sana ke mari tanpa tujuan pasti. Sesekali ia menatap tajam menelusuri sepanjang
jalan, berharap bola matanya segera menangkap sesuatu.
Pak Mansyur dan
beberapa tetangga berkumpul di halaman rumah. Ibu Rahma duduk di samping Pak
Mansyur, memegang tangan sang suami sambil meneteskan air mata. Rahman
mengambil koper dari dalam kamar lalu menaruhnya tepat depan pintu masuk Rumah.
Udin berlari
menuju Ibunya, memohon untuk duduk di pangkuan ayahnya. Bu Rahma melepas tangan
pak Mansyur, ia menyeka bekas tetesan air mata di pipihnya, lalu mengangkat
bungsunya.
Sekitar pukul
08:30, dua unit mobil Avanza berhenti tetap depan rumah Pak Mansyur. Berlahan,
Pak Mansyur berjalan menuju mobil tersebut. Sembari menggendong bungsunya, Ibu
Rahma mengikuti langkah suaminya.
Isak tangis pun
mulai terdengar saat Pak Mansyur membuka pintu mobil. Silih berganti, para
ibu-ibu memeluk bu Rahma. Kata-kata “ yang sabar ya Bu” memenuhi pendengaran,
memicu meluapnya air mata.
Semua yang hadir
menyaksikan Kepergian pak Mansyur, tersedu-sedu dan sesekali mengeluarkan
lendir yang menyumbat hidung. Ibu Rahma dan Rahman saling berpelukan. Udin yang
berada di pelukan bu Rahma, menggeliat berusaha melepaskan diri. Seketika sang
bunda melepaskannya, ia berlari sekencang kencangnya sambil melambai-lambaikan
tangannya, menyusul Mobil yang membawah ayahnya.
Rahman melepas
pelukan bundanya lalu mengejar adiknya. Bu Rahma makin tersedu sedu melihat
bungsunya yang seakan enggan melepas Kepergian ayahnya.
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D