Sehari sebelum Kepergian Ayah
Azan subuh terdengar
syahdu dari arah masjid. Menggetarkan langit-langit desa Puang yang gelap. Para
warga terbangun dari tidurnya, bersiap-siap menyambut hangatnya mentari pagi.
Seperti biasanya, ketika
“asshalatu khairum minan naum” membahana ke angkasa, Jalan setapak yang
lebarnya sekitar tiga meter, sesak akan hamba hamba Allah. Mereka berjalanan sembari
memperbaiki letak kopiahnya, mengelus-elus bajunya, merapikan mukenanya,
menguap, dan bahkan ada juga yang masih terkantuk kantuk.
Pak Mansyur mempersiapkan
diri menghadap tuhan. Ia bergegas ke luar kamar mengambil air wudhu, lalu
menjamah perlengkapan shalat di atas kursi.
“Bangun! Bangun nak?”
Pak Mansyur berjalan mendekati ranjang lalu menarik-narik tangan bungsunya yang
terbentang. Udin menggeliat, membalikkan badannya. Buku pelajaran bahasa
Indonesia di tangan kanannya lepas dari pegangannya.
Tangan pak Mansyur
kembali beraksi. Kini ia tidak hanya menarik tangan Udin, tapi juga memeluk
lalu mengangkatnya menuju sumur yang berada dalam rumah dekat dapur. Mata Udin
berlahan mulai terbuka. Pulau Nusantara terukir di kedua pipinya terlihat
kering. Belum juga sampai di tempat tujuan, Udin tiba tiba mendesah “turunkan
saya ayah! Kan aku sudah besar”
Pak Mansyur tersenyum
tipis. Kopiah hitam melekat di kepalanya, tampak miring terkena tangan Udin.
Baju koko putih terpasang rapi, kini tampak kusut. Sarung kotak-kotak hijau
yang membalut pinggang hingga mata kakinya, hampir saja terlepas.
Udin berjalan mendekati
sumur sambil menguap menahan kantuk. Matanya merah menatap sayu. Ia meraih tali timba di hadapannya lalu
menghentakkannya. Kedua tangannya silih berganti menarik kaleng bekas tempat
cat yang berisi air.
“cepat nak!” sahut ibu
Rahma.
“Iya Mami” jawab Udin
Sang ibu berjalan
mendekati pak Mansyur. Memberikan baju, sajadah, dan kopiah. Perlengkapan
shalat buat sang buah hati.
Beberapa menit kemudian,
Udin mendekati sang Ayah lalu berkata “ Udin cinta Ayah dan Ibu. Nanti saya
akan berdoa agar masuk surga bersama Ayah dan Ibu.”
Pak Mansyur mendekap
tubuh bungsunya. Sang Ibu juga ikut memeluk. Rahman menatap manis dari arah
ruang tamu, sambil tersenyum bahagia mendengar ucapan adiknya barusan. Rasa
haru bercampur bahagia memenuhi setiap sudut rumah itu.
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D