Analisi Media Massa: Pena dan Pisau Analisa I
Dunia ini dengan segala isi dan peristiwanya tidak bisa melepaskan diri
dari kaitannya dengan media massa, demikian juga sebaliknya. Hubungan antara
keduanya sangatlah erat sehingga menjadi saling bergantung dan saling
membutuhkan. Segala isi dan peristiwa yang ada di dunia menjadi sumber
informasi bagi media massa. Selain menjadi sarana dan prasarana komunikasi,
media massa juga mempunyai tugas dan kewajiban untuk mengakomodasi segala jenis
isi dan peristiwa di dunia ini melalui pemberitaan atau publikasinya dalam
aneka wujud. Institusi media memproduksi dan menyebarkan informasi yang berupa
produk budaya atau pesan yang mencerminkan budaya dalam masyarakat kepada
publik secara luas agar produk atau pesan tersebut dapat digunakan dan
dikonsumsi oleh publik. Dengan demikian keberadaan media massa sebagai sistem
tersendiri tidak bisa dilepaskan dari sistem kemasyarakatan yang lebih luas
(politik, ekonomi, Sosial dan budaya).
Media massa adalah sesuatu yang dapat
digunakan oleh segala bentuk komunikasi, baik komunikasi personal maupun
komunikasi kelompok dan komunikasi massa (Atang Syamsuddin). Secara universal
tujuannya adalah: 1).Informasi; 2).Hiburan; 3).Pendidikan;
4).Propaganda/pengaruh; dan 5).Pertanggngjawaban sosial. Sesuai perkembangannya
media massa berwujud dalam media cetak (Koran, majalah, bulletin) dan media
elektronik (TV, radio dan internet). Dari berbagai macam media massa tersebut
mempunyai ciri khas masing-masing baik dalam isi dan pengemasan
beritanya, maupun dalam tampilan serta tujuan dasarnya. Perbedaan ini di
latarbelakangi oleh kepentingan yang berbeda dari masing-masing media massa.
Ada yang bermotif politik, ekonomi, agama dan sebagainya. Seperti yang
dikatakan oleh Bambang Harimukti bahwa media masa merupakan kumpulan banyak
organisasi dan manusia dengan segala kepentingannya yang beragam, bahkan
termasuk yang saling bertentangan.
Kepentingan yang beragam
pada media massa adalah hal yang tidak bisa dipungkiri. Ada media massa yang
memiliki kepentingan politik, karena ia didanai oleh kekuatan politik tertentu,
dan media massa juga ada yang bermotifkan ekonomi, dimana keuntungan secara
materil adalah satu-satunya target dari media tersebut. Ada juga media yang
bermotifkan pendidikan karena ingin memberikan pengetahuan. Begitupun yang
bermotifkan agama, dimana media massa didirikan oleh kelompok agama tertentu
untuk menyampaikan ajaran agamanya. Kepentingan dari media massa
tersebut dapat mempengaruhi berita yang disampaikan. Dari sinilah muncul sebuah
anggapan bahwa fakta yang disampaikan bukanlah fakta yang objektif, melainkan
fakta yang telah dikontruksi oleh media atau penulisnya/wartawan dengan latar
belakang kepentingan tertentu. Dalam pandangan kaum konstruksionis, berita yang
kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan
kaidah baku jurnalistik. Semua proses kontruksi (mulai dari memilih fakta,
sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana
realitas tersebut hadir dihadapan khalayak (Eriyanto, 2002).
Kalau menengok sejarah
media massa di nusantara ini tentu juga tidak bisa melepaskan diri dari
reformasi 98 yang selanjutnya menandai babak baru era reformasi sampai sekarang
ini. Termasuk reformasi media massa yang sebelumnya pemerintah mempunyai peran
kontrol dominan telah bergeser menjadi era keterbukaan yang sangat memberikan
peluang kepada masyarakat untuk menjadi pengontrolnya. Sejauh mana media
memberikan pesan perlu dianalisis lebih lanjut. Masyarakat sebagai sasaran
pembaca, pendengar dan penonton media massa hendaknya mempunyai pisau analisa
agar media menjadi jalan pencerdasan bukan sebaliknya yaitu jalan pembodohan
dan penelikungan.
Perspektif Media Massa
Seiring muncul dan berkembangnya
analisis terhadap media masaa, maka muncul berbagai pendekatan yang mencoba
digunakan, yakni:
Pendekatan pluralis. Dalam
pendekatan pluralis, berita adalah cermin dan refleksi dari kenyataan. Oleh
karena itu, berita heruslah sama dan sebangun dengan fakta yang hendak diliput.
Sedangkan posisi media sendiri merupakan sarana yang bebas dan netral tempat
semua kelompok masyarakat saling berdiskusi yang tidak dominan. Senada dengan
pendekatan ini adalah pendekatan positivis. Menurut pendekatan ini media
merupakan saluran pesan. Ada fakta riil yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu
yang berlaku universal. Berita adalah cermin dan refleksi dari kenyataan,
karena itu, berita haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang hendak diliput
Bertolak dari pendekatan tersebut
adalah pendekatan kritis. Menurut pendekatan ini berita tidak mungkin
merupakan cermin dan refleksi dari realitas, karena berita yang terbentuk hanya
cermin dari kepentingan kekuatan dominan. Sedangkan media sesungguhnya bukan
milik publik, tetapi dikuasai oleh kelompok dominan dan menjadi sarana untuk
memojokan kelompok lain, sehingga sulit untuk berdiri secara netral dan
independent. Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan konstruksionis.
Menurut konstruksionis, media merupakan agen konstruksi pesan. Fakta yang ada
dalam media tiada lain merupakan konstruksi atas realitas. Kebenaran suatu
fakta bersifat relatif, berlaku sesuai konteks tertentu. Berita tidak mungkin
merupakan cermin dan refleksi dari realitas. Karena berita yang terbentuk
merupakan konstruksi atas realitas.
Akar Analisis
Mengapa berita perlu dianalisis???
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa
berita adalah realitas hasil konstruksi yang pada akhirnya realitas yang ada di
dunia ini tidaklah bersifat objektif. Semuanya memiliki subjektifitas dari yang
membuat maupun yang menerima realitas itu, perspektif atau cara pandang dalam
realitas juga mempengaruhi terhadap penilaian sesuatu realitas.
Berikut alasan mengapa berita perlu
dianalisis, sebagaimana dipaparkan Eriyanto yang diambil dari pendekatan konstruksionis,
yakni :
1. Fakta/peristiwa
adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu
bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif
wartawan. Disini tidak ada realitas yang objektif, karena realitas itu tercipta
lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung
pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang
mempunyai pandangan yang berbeda.
2. Media
adalah agen konstruksi. Kaum konstruksionis memandang media bukanlah
saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan
pandangan, bias, dan pemihakannya. Disini media dipandang sebagai agen
konstruksi sosial yang mendefiniskan realitas.
3. Berita
bukan refleksi dari realitas. Ia hanya konstruksi dari realitas. Bagi
Kaum konstruksionis berita itu ibaratnya seperti sebuah drama. Ia bukan
menggambarkan realitas, tetapi merupakan potret dari arena pertarungan antara
berbagai pihak yang berita dengan peristiwa.
4. Berita
bersifat subjektif/Konstruksi atas realitas. Kaum konstruksionis
memandang bahwa berita mempunyai sifat subjektif, hal ini dikarenakan berita
adalah hasil konstruksi realitas yang dilakukan oleh wartawan dengan
menggunakan subjektivitasnya.
5. Wartawan
bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas. Kaum konstruksionis menilai
wartawan sebagai aktor/agen konstruksi, dimana pekerjaannya bukan sebatas
melaporkan sebuah fakta, tapi juga turut mengkonstruksi fakta yang
didapatkannya untuk kemudian dijadikan berita.
6. Etika,
pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam
produksi berita. Kaum konstruksionis menilai bahwa aspek etika, moral, dan
nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Sisi
subjektifitas dan penilaian atas fakta membuat wartawan memiliki posisi untuk
terlibat dalam penuangan unsur moral, etika juga keberpihakan ketika ia
mengkonstruksi realitas.
7. Nilai,
Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral
dalam penelitian. Kaum konstruksionis memandang bahwa peneliti bukanlah
subjek yang bebas nilai, karena itulah etika dan moral serta keberpihakan
peneliti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses penelitian.
8. Khalayak
mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Kaum konstruksionis
memandang bahwa khalayak bukanlah subjek yang pasif, melainkan subjek yang
aktif dalam menafsirkan apa yang dibaca, ditonton ataupun didengar. (bersambung)
Oleh: Sholeh
Fasthea
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D