Mahatma Gandhi dan Konsep Ahimsa
Egoisme berlebihan meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Nafsu amarah terlalu cepat menguasai diri, melalaikan tugas dan tanggungjawab sebagai khalifah. Menganggap diri paling benar menjadi hal yang lumrah di kalangan kaum intelektual, membuat lupa akan hakikat keilmuan. Doktrin agama membentuk manusia-manusia patuh, walaupun pada hal-hal yang bertentangan dengan fitrah. Ajaran yang dikoarkan-koarkan sebagian pemuka agama, menjadi pemicu lahirnya kekerasan. Teriakan perlawanan kaum tertindas yang terekam dalam sejarah hanya tinggal kenangan, digantikan dengan teriakan-teriakan kepalsuan berbungkus agama. Maka jangan heran, kalau hari ini, orang mulai jenuh dengan keberagamaan nya dan mencari jalan lain untuk menunaikan cita-cita insani nya, karena yang tampak dari sang teladan hanyalah topeng kepalsuan.
Saat
Mahatma Gandi berhasil memprakarsai perjuangan Ham di Afrika Selatan, ia
kembali ke India lalu bergabung dengan Indian National Congress. Pada tahun
1920, ia mengambil alih kepemimpinan Indian National Congress dan berhasil
mengantarkan india pada kemerdekaan setelah sekian lama dijajah oleh Inggris.[1]
Ketaatannya pada ajaran agama Hindu yang cinta damai[2],
termanifestasi dalam bentuk perlawanannya pada penjajah. Sejarah merekam bahwa
Gandi adalah tokoh pejuang yang mengatasnamakan cinta kasih. Ia melawan dengan
kasih sayang, bukan dengan senjata, sebagaimana yang dilakukan Ce Guevara.
Teriakan motto perlawanannya adalah anti kekerasan, karena melawan para tirani
dengan kekerasan justru akan melahirkan penindasan baru.[3]
Inilah
ajaran Agama yang ia terapkan dalam konsep perjuangannya melawan penindas. Larangan
membunuh, anjuran mengasihi, saling menghormati dan menghargai, menjadi
landasan perlawanannya. Konsistensi nya terhadap paham Ahimsa menjadikannya
sosok yang sangat dirindukan dan dibanggakan para aktivis kemanusiaan
Ketaatannya
pada ajaran Hindu, bukan penghalang untuk menyukai ajaran agama lain. Ia tak
pernah membedakan antara agama Hindu, Kristen, dan Islam, karena semuanya
dianggap benar. Penghargaannya pada agama lain sama tingginya dengan
penghargaannya pada agamanya sendiri.
Ia
meyakini, paham ahimsa (non kekerasan) adalah kekuatan paling ampuh yang
tersedia bagi semua makhluk. Paham tersebut jauh lebih hebat dibandingkan
senjata penghancur terhebat yang pernah ada. Setiap pembunuhan yang dilakukan
terhadap sesama manusia, dengan alasan apapun, merupakan dosa terhadap
kemanusiaan. Penganut paham Ahimsa harus membangun kesanggupan untuk rela
berkorban tanpa pamrih, agar ia terbebas dari rasa takut. Sebab, tak ada yang
perlu ditakuti kecuali kekuatan tuhan. Manusia mencari perlindungan dan
pertolongan hanya kepada tuhan bukan pada yang lain. Tidaklah disebut pantang
kekerasan jika seseorang hanya mencintai orang yang mencintai dirinya. Sebab,
penganut paham Ahimsa yang sesungguhnya pasti rela mencintai orang yang
membencinya.[4]
Inilah
potret tokoh pejuang kemanusiaan yang sejati. Menjadikan nilai-nilai suci
ajaran agama sebagai landasan pergerakannya. Kesadarannya akan peran agama
dalam kehidupan sosial, menjadikannya sosok yang dicintai dan dikagumi banyak
orang. Namanya abadi dalam sejarah perjuangan kaum tertindas, dan terukir indah
dalam jiwa-jiwa kaum lemah. Ia menganjurkan untuk saling mengasihi tanpa
dibatasi sekat-sekat perbedaan. Karena menurutnya, semua manusia, apa pun
agamanya, harus mempunyai hak yang sama dan hidup bersama secara damai.
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
Tokoh yg selama ini saya banggakan
ReplyDelete