Hello

Welcome To My Blog

MISBAHUDDIN HASAN
Semoga Tulisan di Blog ini Bermanfaat Bagi Anda

Recent

Dasar Pak Guru Jahat

Semburat mentari pagi di balik gunung, melukis indah di angkasa. Awan nampak bak lukisan yang memberikan kehidupan bagi orang-orang yang menyaksikannya. Secercah cahaya menembus lorong-lorong kota, menyaksikan manusia memanfaatkan bumi untuk bertahan hidup.

Penduduk desa mempersiapkan diri untuk bertarung melawan kerasnya kehidupan. Ganasnya sengatan matahari yang setiap saat bisa merubah kulit putih ke hitam menjadi musuh utama. Celana dan kaos lengan panjang menjadi benteng untuk melindungi bagian tubuh. Topi caping yang terbuat dari bilah-bilah bambu bertugas melindungi bagian kepala. Cangkul dan parang menjadi senjata utama untuk mencari sesuap nasi.

Dua bocah mengenakan celana merah hingga lutut, kemeja putih, topi merah, dan tas menempel di pundak, berjalan menuju sekolah sembari menunjukkan sesuatu.

Aku bawah pisang goreng! Kamu bawa apa?” ucap Udin sambil membuka plastik bekas tempat gula pasir.

Aku gak bawa apa-apa. Ibuku sakit.Nada sedih Aswin terdengar. Wajahnya mulai mengerut.

Jangan sedih, entar jam istirahat kita makan bareng di tempat rahasia.”

Tapi kamu cuman punya dua biji.

Kata ibuku, kita harus berbagi pada orang-orang sekitar khususnya teman. Walaupun hanya sedikit. Karena apa yang kita miliki adalah titipan Tuhan.”

Makasih ya, Din! Nanti kalau aku punya sesuatu, aku akan berbagi denganmu.”

***

Sesampainya di sekolah, mereka  memasuki ruangan kelas 5.

Selamat pagi, teman-teman!”
 
Selamat pagi, Udin!” kata Ayu.

“Yu! Kemarin aku mendapat nilai 7 di pelajaran menggambar. Kamu dapat berapa?“ Udin berjalan mendekat. Ayu perlahan menunjukkan buku gambar yang telah diberi nilai oleh Ibu Fatimah, guru matematika dan menggambar.

Kalah lagi, kalah lagi. Pokoknya harus giat berlatih menggambar agar nilaiku bisa lebih tinggi.
Makanya, kalau malam kamu ke rumah. Nanti saya ajarkan metode menggambar,” seru Aswin yang sedari tadi duduk berselang kaki di atas bangkunya.

Udin berjalan menuju tempat duduknya. Ia meletakkan tas di atas meja yang berada di depannya. Ia mengeluarkan buku dan pulpen. Pisang goreng bawaannya ia masukkan ke dalam laci meja. Tasnya ia letakkan tepat di samping kursi.

“Aswin! gambar kamu diberi nilai berapa sama Bu’ Fatimah?”

“6,3!” Aswin menunjukan dua giginya yang mirip gigi kelinci.

Katanya mau ajarin saya metode menggambar. Padahal nilainya lebih rendah dibanding punya saya.Ucapan Udin membuat anak-anak yang  berada di kelas tertawa terbahak-bahak bagaikan orang yang larut dalam dunia komedi.

Lonceng pun berbunyi. Petanda belajar mengajar akan segera dimulai. Di depan pintu masuk ruang kelas 5, seorang lelaki dengan tas hitam di tangan  kanan berdiri tegak memandangi seisi kelas. Lelaki itu mengenakan kemeja batik berukuran XL, perutnya buncit seperti orang hamil 7 bulan. Rambutnya plontos, sorotan matanya tajam seperti elang yang sedang mengawasi mangsanya. Ia berjalan mendekati meja yang berada dekat papan tulis.

Selamat pagi, anak-anak! Tugas yang bapak berikan kemarin sudah kalian kerjakan?” Tanpa aba-aba, anak-anak serentak menjawab sudah. “Kalau begitu kumpulkan!perintah Pak Siswo, suami Bu’ Fatimah yang mengajarkan pelajaran IPS dan Olah Raga.

Ayu yang duduk satu meja dengan Udin tunduk memandangi lantai berlapis tegel putih. Wajahnya yang putih seketika pucat saat mendegar perintah mengumpulkan tugas. Senyuman yang baru saja menghiasi wajahnya lenyap tanpa kata. “Kok Matamu meneteskan air, kamu belum mengerjakan tugas ya?” Tanya udin dengan nada lembut.  Ayu mengangguk mantap.  Sepulang sekolah, saya membantu ibu membuat kue jualan. Karena kak Eva sedang ada tugas di rumah temanya sampai jam 11 malam,” kata Ayu menjelaskan alasannya.

Dari 23 murid kelas 5, hanya Ayu yang tak sempat mengerjakan tugas. Saat namanya disebut oleh Pak Siswo, Ia tersedu-sedu. Tanpa ba-bi-bu, Pak siswo menyuruhnya berdiri di depan. Kaki kanannya diangkat, tangan kanan memegang telinga kiri dan tangan kiri memegang telinga kanan.

Kelas yang tadinya sesak dengan canda tawa seketika itu hening. Hanya suara penjelasan Pak Siswo yang memenuhi ruangan. Tak ada satupun murid yang berani bergeming apa lagi bercanda. Semuanya memasang telinga menyimak pelajaran. Sesekali mereka menggoyang-goyangkan pulpen mengikuti irama tangan masing-masing. Angin yang berhembus sepoi-sepoi menerobos jendela kawat. Tetap saja tak mampu mengembalikan suasana seperti semula.

Udin perlahan melirik Aswin. Seolah-olah ingin menyampaikan strategi jitu untuk melepaskan Ayu dari hukuman. Tapi sayang seribu sayang, perhatian Aswin hanya tertuju pada Pak Siswo. Ia menghela nafas panjang. Niat baiknya untuk menolong hanya tersimpan dalam hati. Perhatiannya kini tertuju pada Ayu yang sedari tadi berusaha mengimbangi berat badan agar tak jatuh.

Sudah 15 menit, Ayu tak juga dipersilakan duduk. Udin yang sedari tadi kesal, berdiri lalu berkata,Pak! sudah 15 menit ayu berdiri. Biasanya hukuman berdiri hanya berlangsung selama 10 menit. Setelah itu dipersilakan duduk kembali.”
 
Suasana kelas semakin menegang. Aswin segera menoleh ke arah Udin. Sorotan matanya tajam bak silet yang baru keluar dari pabrik. Mukanya pucat, dahinya mengukir tiga gelombang. Tanpa sadar, pulpen di tangannya jatuh ke lantai menciptakan bunyi tak sedap.

Begitu juga dengan anak-anak lainnya. Mereka memalingkan perhatiannya pada Udin. Seolah-olah Udin yang sedang menerangkan pelajaran matematika menggantikan Pak Siswo. Ayu yang tadinya tersedu-sedu menatap lantai yang jarang dibersihkan seketika mengalihkan tatapannya. Bola matanya tertuju pada sosok pria penyelamat yang sedang memandangi musuhnya. Ia menyeka air mata yang baru saja menetes membasahi kedua pipi yang putih mulus. Ia tak menyangka Udin bisa senekat itu. “Oh, iya! Saya lupa. Maaf ya, nak!Ayu pun dipersilakan kembali ke tempatnya.

Ayu mengeluarkan pulpen dan buku dari tasnya. Ia memberi isyarat pada Udin untuk menunjukkan catatan pelajaran yang baru saja dijelaskan Pak Siswo. Udin menggeleng kepala. Ayu memaksa mengambil buku catatan dari tangan Udin lalu membukanya. Tak ada satupun catatan mengenai penjelasan pak Siswo Barusan. Hanya ada kalimat “dasar pak guru jahat” dan “sukanya menghukum tanpa pernah meminta penjelasan terlebih dahulu” yang memenuhi selembar kertas.

Share this:

PENULIS

Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas

BERGABUNGDENGAN PERCAKAPAN

0 komentar:

Post a Comment

Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D