Dasar Pak Guru Jahat
Semburat mentari
pagi di balik gunung, melukis indah di angkasa. Awan nampak bak lukisan yang memberikan kehidupan bagi
orang-orang yang menyaksikannya. Secercah cahaya menembus lorong-lorong kota,
menyaksikan manusia memanfaatkan bumi untuk bertahan hidup.
Penduduk desa
mempersiapkan diri untuk bertarung melawan kerasnya kehidupan. Ganasnya sengatan
matahari yang setiap saat bisa merubah kulit putih ke hitam menjadi musuh
utama. Celana dan kaos
lengan panjang menjadi benteng untuk melindungi bagian tubuh. Topi caping yang
terbuat dari bilah-bilah bambu bertugas melindungi bagian kepala. Cangkul dan
parang menjadi senjata utama untuk mencari sesuap nasi.
Dua bocah mengenakan
celana merah hingga lutut, kemeja putih, topi merah, dan tas menempel di pundak, berjalan menuju
sekolah sembari menunjukkan sesuatu.
“Aku bawah pisang
goreng! Kamu bawa apa?” ucap Udin sambil membuka plastik bekas tempat gula pasir.
“Aku gak bawa
apa-apa. Ibuku sakit.” Nada sedih Aswin terdengar. Wajahnya
mulai mengerut.
“Jangan sedih, entar jam
istirahat kita
makan bareng di tempat rahasia.”
“Tapi kamu cuman
punya dua biji.”
“Kata ibuku, kita
harus berbagi pada orang-orang sekitar khususnya teman. Walaupun hanya sedikit.
Karena apa yang kita miliki adalah titipan Tuhan.”
“Makasih ya, Din! Nanti kalau
aku punya sesuatu, aku akan berbagi
denganmu.”
***
Sesampainya di sekolah,
mereka memasuki ruangan kelas 5.
“Selamat pagi,
teman-teman!”
“Selamat pagi, Udin!” kata Ayu.
“Yu! Kemarin aku
mendapat nilai 7 di pelajaran menggambar. Kamu dapat berapa?“ Udin berjalan
mendekat. Ayu perlahan menunjukkan buku gambar
yang telah diberi nilai oleh Ibu Fatimah, guru matematika dan menggambar.
“Kalah lagi, kalah lagi.
Pokoknya harus giat berlatih menggambar agar nilaiku bisa lebih tinggi.”
“Makanya, kalau malam kamu
ke rumah. Nanti saya
ajarkan metode menggambar,” seru
Aswin yang sedari tadi duduk berselang kaki di atas bangkunya.
Udin berjalan
menuju tempat duduknya. Ia meletakkan tas di atas meja yang berada di depannya.
Ia mengeluarkan buku dan pulpen. Pisang goreng bawaannya ia masukkan ke dalam laci meja. Tasnya ia letakkan tepat di samping kursi.
“Aswin! gambar
kamu diberi nilai berapa sama Bu’ Fatimah?”
“6,3!” Aswin
menunjukan dua giginya yang mirip gigi kelinci.
“Katanya mau
ajarin saya metode menggambar. Padahal nilainya lebih rendah dibanding punya
saya.” Ucapan Udin membuat anak-anak
yang berada di kelas tertawa
terbahak-bahak bagaikan orang yang larut dalam dunia komedi.
Lonceng pun
berbunyi. Petanda belajar mengajar akan segera dimulai. Di depan pintu masuk
ruang kelas 5, seorang lelaki dengan tas hitam di tangan kanan berdiri tegak memandangi seisi kelas.
Lelaki itu mengenakan kemeja batik berukuran XL, perutnya buncit seperti orang
hamil 7 bulan. Rambutnya plontos, sorotan matanya tajam seperti elang yang
sedang mengawasi mangsanya. Ia berjalan mendekati meja yang berada dekat papan
tulis.
“Selamat pagi, anak-anak! Tugas
yang bapak berikan kemarin sudah kalian kerjakan?” Tanpa aba-aba,
anak-anak serentak menjawab “sudah”. “Kalau
begitu kumpulkan!” perintah Pak Siswo, suami
Bu’ Fatimah yang mengajarkan pelajaran IPS dan Olah Raga.
Ayu yang duduk
satu meja dengan
Udin tunduk
memandangi lantai berlapis tegel
putih. Wajahnya yang putih seketika pucat saat mendegar perintah mengumpulkan
tugas. Senyuman yang baru saja menghiasi wajahnya lenyap tanpa kata. “Kok
Matamu meneteskan air, kamu belum mengerjakan tugas ya?” Tanya udin dengan nada
lembut. Ayu mengangguk mantap. “Sepulang sekolah, saya membantu ibu membuat kue
jualan. Karena kak Eva sedang ada tugas di rumah temanya sampai jam 11 malam,” kata Ayu menjelaskan alasannya.
Dari 23 murid
kelas 5, hanya Ayu yang tak sempat mengerjakan tugas. Saat namanya disebut oleh Pak Siswo, Ia tersedu-sedu.
Tanpa ba-bi-bu, Pak siswo menyuruhnya
berdiri di depan. Kaki
kanannya diangkat, tangan kanan memegang telinga kiri dan tangan kiri memegang
telinga kanan.
Kelas yang
tadinya sesak dengan canda tawa seketika itu hening. Hanya suara penjelasan Pak Siswo yang
memenuhi ruangan. Tak ada satupun murid yang berani bergeming apa lagi
bercanda. Semuanya memasang telinga menyimak pelajaran. Sesekali mereka
menggoyang-goyangkan pulpen mengikuti
irama tangan masing-masing. Angin yang berhembus sepoi-sepoi menerobos jendela
kawat. Tetap saja tak
mampu mengembalikan suasana seperti semula.
Udin perlahan melirik Aswin. Seolah-olah ingin
menyampaikan strategi jitu untuk melepaskan Ayu dari hukuman. Tapi sayang
seribu sayang, perhatian Aswin hanya tertuju pada Pak Siswo. Ia menghela
nafas panjang. Niat
baiknya untuk menolong hanya tersimpan dalam hati. Perhatiannya kini tertuju
pada Ayu yang sedari tadi berusaha mengimbangi berat badan agar tak jatuh.
Sudah 15 menit, Ayu tak juga
dipersilakan duduk. Udin yang sedari tadi kesal, berdiri lalu berkata, “Pak! sudah 15
menit ayu berdiri. Biasanya hukuman berdiri hanya berlangsung selama 10 menit.
Setelah itu dipersilakan duduk kembali.”
Suasana kelas
semakin menegang. Aswin segera menoleh ke arah
Udin. Sorotan matanya tajam bak silet yang baru keluar dari pabrik. Mukanya
pucat, dahinya mengukir tiga gelombang. Tanpa sadar, pulpen di tangannya
jatuh ke lantai menciptakan bunyi tak sedap.
Begitu juga
dengan anak-anak lainnya. Mereka memalingkan perhatiannya pada Udin.
Seolah-olah Udin yang sedang menerangkan pelajaran matematika menggantikan Pak Siswo. Ayu
yang tadinya tersedu-sedu menatap lantai yang jarang dibersihkan seketika mengalihkan tatapannya. Bola
matanya tertuju pada sosok pria penyelamat yang sedang memandangi musuhnya. Ia menyeka
air mata yang
baru saja menetes membasahi kedua pipi yang putih mulus. Ia tak menyangka Udin bisa senekat
itu. “Oh, iya! Saya lupa. Maaf ya, nak!” Ayu pun
dipersilakan kembali ke tempatnya.
Ayu mengeluarkan
pulpen dan buku
dari tasnya. Ia memberi isyarat pada Udin untuk menunjukkan catatan
pelajaran yang baru saja dijelaskan Pak Siswo. Udin menggeleng kepala. Ayu memaksa mengambil buku
catatan dari tangan Udin lalu membukanya. Tak ada satupun catatan mengenai
penjelasan pak Siswo Barusan. Hanya ada kalimat “dasar pak guru jahat” dan “sukanya
menghukum tanpa pernah meminta penjelasan terlebih dahulu” yang memenuhi
selembar kertas.
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D