Hello

Welcome To My Blog

MISBAHUDDIN HASAN
Semoga Tulisan di Blog ini Bermanfaat Bagi Anda

Recent

Gadis Ayu berhati Malaikat

Sudah tiga hari Rahman terbaring lemah di kamarnya. Dahinya panas, wajahnya pucat, dan badannya bergetar kala malam mulai menyapa. Ibunya terlihat cemas. Entah sudah berapa kali ia mondar-mandir masuk kamar memeriksa kondisi sulungnya. Sang ayah yang bekerja sebagai buruh pabrik kelapa sawit di Kuala Lumpur tak kunjung menjawab panggilan telepon dari sang istri.

Para tetangga berdatangan. Rumah seukuran separuh lapangan voli itu sesak akan kesedihan dan kecemasan. Seorang gadis berparas ayu, kulitnya putih, badannya ramping bak model kecantikan berjalan menghampiri lelaki berusia 25 tahun yang dibalut selimut ungu tebal. Suara lelaki itu lemah. Asma-Asma Tuhan yang keluar dari lisannya tak nampak jelas.

Bu’ ayo kita bawa Rahman ke rumah sakit. Panasnya semakin tinggi,” ajak gadis berusia 24 tahun itu sembari menjauhkan punggung tangannya yang menempelkan di dahi Rahman.

Ibu yang sedang memeras kain putih yang baru saja dilepas dari dahi Rahman mengerutkan dahinya hingga nampak beberapa gelombang.

Ibu tak punya duit, Inayah.

“Ibu punya BPJS?”

ngga.”

Kecemasan Inayah memuncak saat menyaksikan tubuh Rahman menggeliat bagaikan kelinci terkena sengatan listik. Inayah berbalik membelakangi Rahman. Melangkahkan kakinya keluar kamar menuju rumah kayu jati yang berada di seberang jalan, tepat depan rumah Rahman.

Ayah! Kondisi Rahman memprihatinkan. Harus segera dibawa ke dokter!

Innalillah. Kamu sudah membujuk Ibunya agar cepat membawa Rahman ke rumah sakit?” Tanya pak Khaerul, lelaki berusia 53 tahun.

“ iya, Ayah. Tapi ibunya Rahman tak punya BPJS apalagi duit. Sudah tiga hari ini Ibunya Rahman nggak jualan sayur. Sibuk mengurusi anak semata wayangnya.”

“Jadi?” Tanya Pak Khaerul bingung.

“yah nggak jadi apa-apa,” jawab Inayah sambil tersenyum tipis.

Wajah serius Pak Khaerul melihat senyum putrinya seketika mulai hilang digantikan wajah berseri-seri yang dihiasi senyum manis.
Sempat-sempatnya gadis berparas ayu, idaman seluruh pemuda desa itu, bercanda saat-saat percakapan mulai menegangkan. Mungkinkah dia tidak merasakan apa yang dirasakan Rahman, pemuda berkulit kuning langsat yang setiap waktu shalat, suara merdunya terdengar dari arah masjid mengajak warga untuk melaksanakan shalat. Hanya dia dan tuhan yang tahu.

“Seminggu lalu kan ayah panen, dan semalam pembeli gabah itu memberikan nota beserta sejumlah uang, bagaimana kalau kita bawa Rahman ke rumah sakit. Nanti ayah yang bayar administrasinya? Diakan sering bantu ayah menanam, memupuk dan bahkan mencabuti rumput sawah.”

Hmmm. Gimana ya? Entar duit ayah habis lagi,” kata ayahnya sembari memegang dahi bak seorang yang sedang fokus berfikir.

Kok ayah gitu sih?” nada suara Inayah melemah. Heran mendengar perkataan ayahnya barusan. 
Sosok ayah yang selama ini dia kenal baik, santun, sholeh, berahlak, tiba-tiba berkata seperti itu. Bukankah setiap kali selesai shalat berjamaah di rumah, Ayah selalu berpesan agar lebih mendahulukan orang lain? Bukankah ayah juga berpesan agar memperbanyak sedekah dan membantu orang lain? Dan bukankah harta yang kita miliki ada hak-hak orang membutuhkan di dalamnya? Ini sungguh mengherankan. Lelaki bertubuh besar yang duduk berselang kaki di atas karpet depan televisi yang nampak seperti ayahku bukanlah ayahku. Dia orang asing yang serupa dengan ayah,” keluh Inayah dalam hati.

Melihat putrinya menatap bingung ke arah Ibunya, Pak Khaerul tertawa terbahak-bahak sampai-sampai tak sadar, kopi hitam yang baru saja dibuat istrinya tumpah. Tembakau hitam lempengan, remote televisi dan asbak yang tepat berada dekat gelas mug berisikan air hitam berasap tipis, semuanya berganti warna menjadi hitam.

“Tumpah deh kopinya!” seru pak Khaerul sembari memindahkan tembakau dan remote televisi ke meja depan sofa.

Ayah sih, nggak mau bantu orang. Jadinya dihukum sama Allah,” sahut Ibu Indah, bundanya Inayah. Ia bergegas membersihkan noda bekas kopi dengan kain lap.

Tidak mungkin ini hukuman dari Allah. Saya kan cuman bercanda.
 
Jadi ayah bercanda?”  Inayah menatap ayahnya, mencoba memperjelas kata-kata barusan.

“Iya, tadi ayah hanya bercanda,” jawab Pak Khaerul sambil menaruh tembakau hitam di atas kertas putih yang luasnya seukuran tiga jari.

Share this:

PENULIS

Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas

BERGABUNGDENGAN PERCAKAPAN

0 komentar:

Post a Comment

Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D