Gadis Ayu berhati Malaikat
Sudah tiga hari Rahman
terbaring lemah di kamarnya. Dahinya panas, wajahnya pucat, dan badannya
bergetar kala malam mulai menyapa. Ibunya terlihat cemas. Entah sudah berapa
kali ia mondar-mandir
masuk kamar memeriksa kondisi sulungnya. Sang ayah yang bekerja sebagai buruh pabrik kelapa
sawit di Kuala Lumpur tak kunjung
menjawab panggilan telepon dari
sang istri.
Para tetangga
berdatangan. Rumah seukuran separuh lapangan voli itu sesak akan kesedihan dan
kecemasan. Seorang gadis berparas ayu, kulitnya putih, badannya ramping bak model kecantikan
berjalan menghampiri lelaki berusia 25 tahun yang dibalut selimut ungu tebal.
Suara lelaki itu lemah.
Asma-Asma Tuhan yang keluar dari lisannya tak nampak jelas.
“Bu’ ayo kita bawa
Rahman ke rumah sakit. Panasnya semakin
tinggi,” ajak gadis berusia 24
tahun itu sembari menjauhkan punggung tangannya yang menempelkan di dahi
Rahman.
Ibu yang sedang
memeras kain putih yang baru saja dilepas dari dahi Rahman mengerutkan dahinya
hingga nampak beberapa gelombang.
“Ibu tak punya
duit, Inayah.”
“Ibu punya
BPJS?”
“ngga.”
Kecemasan Inayah
memuncak saat menyaksikan tubuh Rahman menggeliat bagaikan kelinci terkena
sengatan listik. Inayah berbalik membelakangi Rahman. Melangkahkan kakinya
keluar kamar menuju rumah kayu jati yang berada di seberang jalan, tepat depan
rumah Rahman.
“Ayah! Kondisi
Rahman memprihatinkan. Harus segera dibawa ke dokter!”
“Innalillah. Kamu
sudah membujuk Ibunya agar cepat membawa Rahman ke rumah sakit?” Tanya pak Khaerul, lelaki berusia
53 tahun.
“ iya, Ayah.
Tapi ibunya Rahman tak punya BPJS apalagi duit. Sudah tiga hari ini Ibunya
Rahman nggak jualan
sayur. Sibuk mengurusi anak semata wayangnya.”
“Jadi?” Tanya Pak Khaerul
bingung.
“yah nggak jadi
apa-apa,” jawab
Inayah sambil tersenyum tipis.
Wajah serius Pak Khaerul melihat senyum
putrinya seketika mulai
hilang digantikan wajah berseri-seri yang dihiasi senyum manis.
Sempat-sempatnya
gadis berparas ayu, idaman seluruh pemuda desa itu, bercanda saat-saat
percakapan mulai menegangkan. Mungkinkah dia tidak merasakan apa yang dirasakan Rahman,
pemuda berkulit kuning langsat yang setiap waktu shalat, suara merdunya
terdengar dari arah masjid mengajak warga untuk melaksanakan shalat. Hanya dia
dan tuhan yang tahu.
“Seminggu lalu
kan ayah panen, dan semalam pembeli gabah itu memberikan nota beserta sejumlah uang,
bagaimana kalau kita bawa Rahman ke rumah sakit. Nanti ayah yang bayar
administrasinya? Diakan sering bantu ayah menanam, memupuk dan bahkan mencabuti
rumput sawah.”
“Hmmm. Gimana
ya? Entar duit ayah habis lagi,” kata ayahnya sembari memegang dahi bak seorang yang
sedang fokus berfikir.
“Kok ayah
gitu sih?” nada suara Inayah melemah.
Heran mendengar perkataan ayahnya barusan.
“Sosok ayah yang selama ini dia kenal baik, santun,
sholeh, berahlak, tiba-tiba berkata seperti itu. Bukankah setiap kali selesai shalat
berjamaah di rumah, Ayah selalu berpesan agar lebih mendahulukan orang lain?
Bukankah ayah juga berpesan agar memperbanyak sedekah dan membantu orang lain?
Dan bukankah harta yang kita miliki ada hak-hak orang membutuhkan di dalamnya? Ini
sungguh mengherankan. Lelaki bertubuh besar yang duduk berselang kaki di atas
karpet depan televisi yang nampak seperti ayahku bukanlah ayahku. Dia orang
asing yang serupa dengan ayah,” keluh Inayah dalam hati.
Melihat putrinya
menatap bingung ke arah Ibunya, Pak Khaerul tertawa terbahak-bahak
sampai-sampai tak sadar, kopi hitam yang baru saja dibuat istrinya tumpah.
Tembakau hitam lempengan, remote televisi dan asbak yang tepat
berada dekat gelas mug berisikan air hitam berasap tipis, semuanya berganti warna menjadi
hitam.
“Tumpah deh
kopinya!” seru
pak Khaerul sembari memindahkan tembakau dan remote televisi
ke meja depan sofa.
“Ayah sih, nggak mau bantu orang. Jadinya
dihukum sama Allah,” sahut Ibu Indah,
bundanya Inayah. Ia bergegas membersihkan
noda bekas kopi dengan kain lap.
“Tidak mungkin ini
hukuman dari Allah. Saya kan cuman bercanda.”
“Jadi ayah
bercanda?” Inayah menatap ayahnya,
mencoba memperjelas kata-kata barusan.
“Iya, tadi ayah
hanya bercanda,” jawab Pak Khaerul sambil menaruh tembakau hitam di atas kertas
putih yang luasnya seukuran tiga jari.
PENULIS
Pemuda sapaan Misbah. Kini aktif di berbagai lembaga pendidikan. Sembari menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, juga sebagai penulis lepas
0 komentar:
Post a Comment
Salam Cinta
NB:
Berkomentarlah dengan bijak
Selamat berkomentar...... :D